KERIS
…20
Oktober 2006
Memasuki menit ke 30 aku mengikuti
Mata Kuliah Sintaksisnya Mr Romi, aku merasa hpku bergetar. Ada sms begitu
pikirku.
“Besok pulang. ada masalah keluarga
yang harus Bli ketahui.” Begitu sms dari dari adiku.
Fokusku pada Mister Romi telah
menguap karena rasa penasaran. Tidak biasanya aku diminta pulang karena masalah
keluarga besar. Aku tidak tertarik mengurusi orang, tugas kuliahku sudah cukup
banyak jadi tak ada waktu mengurus atau ikut memikirkan urusan keluarga. Masalah
kelurga biarlah urusan orang tuaku, begitulah prinsipku. Orang tuaku juga
jarang mengajaku membicarakan masalah keluarga. “Belajarlah dengan baik, agar
kamu cepat jadi sarjana.” Begitu kata-kata yang sering di ucapkan Ayah.
…21 Oktober 2006
Jam 7 malam aku sampai di Kampung.
Setelah selesai mandi dan
sembahyang aku menemui orang tuaku yang menungguku diteras.
“Meme, memangnya ada hal apa, tiba-tiba aku disuruh pulang.“
“Bli Made, Pamanmu jatuh dari pohon
dan kakinya patah.” Ibu menjawab pertanyaanku dengan lembut.
“Nanti kita kerumah menengok
Pamanmu bersama-sama.” Ayah ikut bicar.
Ayah kemudian menatapku, raut
diwajahnya menunjukan keseriusan. Hal yang sangat jarang aku lihat.
“Wayan, anak Bapa. Bapa ingin
menceritakan sebuah cerita, sebagai anak kamu mesti tahu tentang leluhur kita.”
Aku hanya mengangguk pasrah.
“Leluhur kita adalah pemuka desa
ini, beliau terkenal berwibawa dan peminpin yang baik. Yang paling utama adalah
beliau memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa. Karena kesaktianya itu beliau
terkenal kepelosok negeri. Konon ilmu yang beliau miliki bersumber pada keris
yang beliau miliki. Keris itu sekarang tersimpan rapi di rumah Kakekmu.”
Cerita Ayah terhenti saat suara
adiku meanggil. “ Bapa, Meme, Bli Yan, sudah malam ini ayo kita menjenguk Paman.”
“ Ya, biar tidak terlalu larut kita
baliknya.” Kataku sambil berdiri.
Di
rumah Paman ternyata ramai, hampir semua keluarga besar kulihat disana. Kulihat
Bli Made tiduran di ranjang, kakinya
dililit perban.
“Karena,
seluruh keluarga telah hadir maka rapat keluarga akan kita mulai.” Suara Pekak Saru tiba-tiba. Pekak Saru adalah tetua di keluarga
besar kami.
Suara
itu menghantarkan keheninggan. Aku terkejut, ku pandang Ayah juga kelihatanya
memendam keterkejutan.
Bli
Putu, Paman tertuaku kemudian berkata. “Seperti yang sudah kita ketahui
bersama, kemarin Made Bawa jatuh dan kakinya patah. Setelah itu anak-anaknya
berinisiatif mepetuun untuk
menanyakan kepada leluhur tentang penyebab bencana yang menimpa Ayah mereka.
Inti dari hasil mepetuun itu adalah,
leluhur meminta kesediaan salah satu dari kita untuk bersedia menjadi Pemangku.”
Semua yang hadir saling pandang.
Siapa yang sebenarnya di tunjuk jadi pemangku
?
“Yan, kami keluarga besar bukan
bermaksud memberatkanmu. Kami sebenarnya tidak ingin menyampaikan hal ini pada
Wayan, kami tahu ini berat buat Wayan.Tapi hal ini harus kami sampaikan.
Wayanlah yang dipilih untuk mengemban tugas ini.”
Langit jatuh menimpaku, badan
hancur, belulang remuk berhamburan, dan otak berceceran di lantai. Begitulah
yang kurasakan saat Bli Made melanjutkan kata-katanya.
Aku diam, tak tahu mesti menjawab
apa. Tatapan seluruh yang hadir terasa mengulitiku. Tiba-tiba saja tempat duduk
terasa panas, ingin rasanya aku berlari pulang. Aku hanya anak muda yang masih
labil, atas dasar apa aku dipilih mengemban tugas itu ?
“Kalau hal itu tidak dituruti akan
ada bencana yang menimpa keluarga besar kita. “ Bli Ketut ikut memberi
penjelasan.
Melihat kebingunganku, Ayah
menjawab “Bukanya kami menolak kehendak leluhur, tapi ijinkan Wayan anak saya
untuk berpikir dulu dia masih muda tentu belum begitu mengerti tentang tugas
dan kewajiban Pemangku itu.”
Pekak
Saru kemudian menjelaskan bahwa tugas utama Pemangku
itu adalah menjaga keris pusaka peninggalan leluhur kami.
Malam itu aku pulang dengan
perasaan kesal. Jiwa mudaku menolak tugas itu, aku tak ingin di ikat oleh hal
yang berbau mistik seperti itu. Lagi pula mepetuun
itu belum tentu benar, tidak masuk akal.
Aku memutuskan untuk belum menerima
tugas tersebut, alasanku akan menyelesaikan kuliahku. Sebenarnya aku tidak
percaya dengan hal tersebut.
..,25 Oktober 2006
Pukul 20:30
1
Pesan Diterima !
Dari
: AdikQ..
“Bli
ya..,Intan anaknya Bli Ketut sakit keras,
sekarang di rawat di rumah sakit
Mungkin
ini bencana karena bli yan ga mw jdi penjaga keris..
Apa mungkin seperti itu, ah tidak. Itu
hanya kebetulan saja Intan sakit, dari kecil memang dia sering sakit. Apa
mungkin hal itu benar? Malam itu aku gelisah. Sepanjang malam aku mimpi aneh. Dalam
mimpiku aku didatangi seorang pria berpakaian adat Bali, tangan kanannya
memegang bungkusan kain kuning. Dari bentuknya benda yang dipegang lelaki itu
adalah keris.
…,27 Oktober 2006
Pukul 14:28
1
Pesan diterima !
Dari
: AdikQ…
Baru saja Paman
di Palu nlpn.katanya anaknya diceraikan oleh suaminya tanpa alasan yang
jelas.bli yan,,,,cobalah berpikir lagi, apa akan bli biarkan keluarga kita
terus dilanda bencana.
“Ahh..persetan,masalah orang cerai
masak aku yang bersalah.”
“ Tapi…Ia ini salahmu, terima saja tugasmu yan
! Begitulah perang batinku
Hari-hariku berikutnya terus
dihantui keris.Tiap malam aku mimpi dikejar keris. Itu hanya mimpi, mungkin aku terlalu
memikirkan keris itu, begitu pikirku. Kabar yang aku terima dari keluarga terus
tentang bencana. Ternaknya mati,kebun karetnya kebakaran, Toko di bobol maling
dan sanak keluarga sedang sakit.
Tapi aku yakin semua takdir mereka,
bukan karena aku tidak mau menjadi Pemangku yang mengorbankan hidupnya
hanya untuk merawat sebilah keris. Mana mungkin leluhur memberatkan
keturunanya.Kalaupun benar begitu berarti leluhur itu tidak bijaksana, melimpahkan
tugas atau kesalahan pada kami yang masih hidup. Dibenaku mulai ditumbuhi hal
negatif tentang leluhurku.
..,5 November 2006
Pukul 07.50
Tatapanku tertuju pada spanduk yang
terpasang di depan gerbang bangunan “ Selamat Datang Peserta Seminar, Mengenal
Lebih Dekat Keris Bali” Aku ragu melangkah, bodoh banget aku ini. Saat Roy
meminta aku menggantokanya mengikuti seminar aku langsung mengiakan.”Kamu
gantikan aku,nanti Gus de dan Ayu menunggu disana. Teman-teman HMJ lain pada
sibuk” Begitu ocehan Roy .Sialnya aku tidak konfirmasi tentang materi seminar
itu.Ia sudahlah, tak ada salahnya aku ikut saja.
Pukul 08.35
…” keris adalah simbol laki-laki
bagi orang Bali. Zaman dulu keris dapat menunjukan tinggi rendahnya status seorang …” Saat pembicara sedang membicarakan
filosofi keris tiba-tiba hpku berbunyi.
Adiku..
“Knapa ? aku sedang mengikuti
seminar..”
“ Aku dengan Bape dan Bape Made lagi on the way ke kos “
“ Ada apa lagi ? “
“ Ada hal penting yang mau mereka
sampaikan.”
“ Ok, setengah jam lagi aku balik…”
Kututup telepon dengan rasa gundah.
Di depan ku lihat pembicara sedang
menunjukan sebilah keris, memperkenalkan bagian-bagianya pada peserta seminar. Entah
dari mana datangnya tiba-tiba aku merasa merinding dan ngeri melihat keris yang
di pegang oleh Bapak itu.Akhirnya aku memutuskan untuk tidak melanjutkan
mengikuti acara itu.
Pada kedua temanku aku pamitan ku
bilang dengan jujur bahwa orang tuaku akan datang ke kos jadi aku harus balik
sekarang juga. Mereka mengerti dan mempersilahkanku untuk berangkat.
Kenapa keluargaku tiba-tiba datang
mencariku? Sudah lebih dua tahun aku kuliah tak sekalipun orangtuaku datang ke
kosan.Yang pernah ke kosku cuma adiku, itupun sudah setahun lalu. Saat itu dia
mewakili sekolahnya mengikuti sebuah lomba di kota tempat kuliahku, sebelum
pulang ia sempatkan mampir ketempatku.
Tiiiiittttt !!!
Aku tersentak, sebuah benda besar
tiba-tiba bergerak cepat kearahku. Pikiranku tak sempat menganalisa dan
tubuhku tak sempat bereaksi.
***
Ku sadari diriku sedang berada di
sebuah tempat yang mmenyerupai bioskop. Di depankua terbentang sebuah layar. Dilayar
itu kulihat dua oaring pria gagah,mereka dikelilingi oleh banyak orang. Dua
peremuan sambil mengendong anak kecil nampak sedih. Sepertinya dua orang itu
adalah istri dari pria-pria itu. Orang-orang itu berteriak dengan mengangkat
tangan tinggi keudara, sepertinya mereka memberi semangat pada dua pria gagah
itu. Teriakan terus menggema saat kedua pria itu berjalan, keduanya melangkah
menyusuri jalan setapak. Saat itulah aku sadar bahwa salah satu dari pria itu
mirip dengan Ayahku atau bahkan mirip denganku.
Adegan berikutnya…
Beberapa perahu layar terlihat
bergerak pelan dilautan. Kedua pria gagah terihat duduk diperahu dengan layar
berwarna kotak-kota merah, hitam dan putih.Di depan mereka berdiri seorang pria
dengan pakaian seperti seorang raja.
Pria itu berkata “ Depih, aku
dengar kamu memiliki pasukan berupa wong samar.
Pria yang mirip denganku menjawab
“Ya Gusti Patih, saat ini hamba membawa 2000 pasukan wong samar, tuan bisa rasakan gerak perahu-perahu kita. Keempat
perahu ini bergerak lamban karena memuat 2000 pasukan wong samar itu.
“ Bagus..! Aku harap kita bisa
pulang dengan kemenangan tanpa ada pasukan kita yang gugur”
Bersama malam yang mulai datang, perahu
yang mengangkut pasukan itu merapat di pantai. Hujan bersama Guntur dan kilat
menyambut kedatangan mereka. Pria yang dipanggil sebagai gusti patih terlihat
berdiri dan mencabut keris di pinggangnya, diancungkanya keris itu
keangkasa.Sebuah kilat menyambar keris tersebut beberapa saat kemudian langit disekitar mereka menjadi cerah,hujan, Guntur
dan kilat hilang entah kemana.
“Depih,saatnya kamu keluarkan pasukan wong samarmu ! “
Depih begitulah orang yang mirip
denganku dipanggil.Pria itu segera mengeluarkan keris kecil dari pingganya. Sementara
anggota pasukan yang lain tampak duduk rapi. Salah satu diantara mereka berdiri
dan mendekati Depih, dia terlihat memegang seekor ayam hitam.
Leher ayam itu putus di babat oleh
keris ditangan I Depih. Mulut pria itu komat-kamit membaca mantra. Tiba-tiba angin berhembus kencang, suara derap seperti
ribuan kuda berlari terdengar menggema. Angin dan suara itu makin menjauh
bergerak kearah daratan.
“TIDAK…!” Aku berteriak kaget
kulihat keris ditangan I Depih bertambah panjang dan ujungnya bergerak
kearahku, aku berlari keluar bioskop. Keris itu terus bertambah panjang dan
mengejarku.
“ Tidak …Jangan!”
“Keris…keris ..jangan!” Aku
berteriak dan terus berlari, tiba-tiba aku melihat kedua orang tuaku. Sekuat tenaga
aku berlari kearah mereka.
“Dokter...dia bergerak, dia siuman!“
Kudengar sayup suara.
***
Ku arahkan pandanganku,s elang-selang
infus menghiasi tubuhku. Kaki kananku dibalut perban. Senyum manis Andin adiku
dan tatapan cemas Ayahku langsung terpampang dihadapanku.
“ Aku kenapa ? “ Hanya itu yang keluar dari mulutku.
Dari cerita Ayah dan adik aku tahu,
bahwa aku mengalami kecelakaan. Bertabrakan dengan mobil saat aku kembali dari
tempat seminar. Aku mengalami luka yang parah, sudah 3 hari aku koma.
Besoknya aku ceritakan mimpiku pada
Ayah. Ayah bilang orang dalam mimpi adalah I Depih leluhur kami yang pemiliki
keris pusaka. Memang menurut cerita dia ikut berberang dan pulang membawa
kemenangan. Saat pulang itu beliau membawa beberapa keris dan benda berharga
lain, itu adalah bukti kemenangan yang diraih di medan perang.
…, 25 Desember 2006
Didepanku tergolek 3 buah keris. Satu
persatu ku pegang benda tersebut. Aku memutuskan mau menerima tugas menjaga
keris penunggalan leluhurku. Aku sadar keris ini memiliki nilai sejarah
khususnya bagi keluargaku, jadi selayaknya aku ikut menjaga benda itu.Itu
simbol prestasi yang diraih leluhurku. Mungkin zaman itu prestasi seseorang
diukur dari tingginya ilmu kesaktian yang dimiliki beda dengan sekarang. Pada
zamanya leluhurku telah dipilih oleh kerajaan untuk ikut misi penting. Kalau
mau jujur aku belum ada apa-apanya, aku belum punya prestasi yang membanggakan
keluarga. Aku telah salah meremehkan dan memandang negatif pada leluhur.
Jadilah aku Pemangku yang bertugas menjaga keris pusaka. Setiap 15 hari sekali
keris itu mesti dibersihkan dengan air kelapa. Ya masuk akal juga, biar keris
tersebut tidak berkarat. Keris itu dibuatkan tempat khusus dirumahku dan tidak
perlu membawa keris itu kemanapun aku pergi. Dulu salah satu alasanku menolak
adalah karena aku kira benda itu harus dibawa kemana-mana.
Dan kuliahku berjalan dengan wajar
tidak terganggu oleh keris. Bahkan keris menjadi inspirasiku untuk meraih
prestasi.
Sepeti pamor sebilah keris, begitulah jalan hidup manusia.
:
Menunggu lahirnya pagi…
Buleleng, 25 Desember 2010
semangat
BalasHapus