BALI...
Tak pernah terbayang olehku kalau
aku akan kembali menginjakan kaki di Pulau ini. Tanah tempat aku dilahirkan 32
tahun yang lalu. Hari ini untuk pertama kalinya sejak 12 tahun aku kembali. Aku kembali ke Bali bersama
Paolo suamiku dan Angel putriku.
Aku terlahir dengan nama Luh Sari. Dusun
kecil di Kabupaten Karangasem yang terletak diujung timur Pulau Bali adalah
tempatku dilahirkan. Keadaan ekonomi keluargaku tidak begitu bagus. Ayaku
adalah seorang nelayan dan Ibu mempunyai
warung kecil yang menjual sembako dan
berbagai peralatan nelayan. Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara.
Kakak pertamaku adalah perempuan Ia
menikah dalam usia sangat muda. Setelah menerima ijasah SDnya ia
langsung menikah. Kakak keduaku seorang lelaki. Pagi hari ia ke laut mencari
ikan, siang dan malamnya dijalani dengan mabuk-mabukan dan judi.
Berbeda dengan anak perempuan lain
di desa aku bisa dikatakan beruntung, karena orang tuaku memiliki pandangan
yang cukup luas terutama mengenai pendidikan putra-putrinya. Orang tua lain
umunya hanya menyekolahkan anak lelakinya ke SMP atau SMA, sedang anak
perempuan paling lulus SD sudah cukup. Orang tuaku ingin agar putra-putrinya
memiliki pendidikan yang cukup. Minimal SMP seperti kebanyakan anak-anak di
desa kami. Tetapi kedua kakaku berpendapat lain, mereka memilih jalan hidup
yang menurut mereka lebih baik. Kakak lelakiku beralasan sekolah yang tinggi
tidak menjamin seseorang mampu menghasilkan uang, bisa membaca dan menulis
sudah cukup. Banyak sarjana menganggur, kalau mau menjadi PNS harus memakai
uang ratusan juta. Memang betul, di desa kami baru ada 3 pemuda yang bergelar Sarjana, tetapi ketiganya jadi pengangguran. Namun aku punya
pendapat berbeda, aku akan tetap bersekolah selama orang tuaku mampu membiayai,
karenanya aku harus membantu mereka dalam mencari nafkah.
Saat aku SMP, setiap pulang sekolah aku
membantu ibu menunggui warung. Ketika itu desaku mulai di datangi turis asing
maupun domestik. Mereka datang untuk
melihat pemandangan bawah laut di desaku. Kata mereka ikan dan terumbu
karang disana sangat indah.
Warung kami setiap hari dikunjungi
turis asing yang ingin membeli minuman atau mencari orang untuk mau membawakan
barang mereka ke pantai. Memang kami berada di pinggir jalan raya tempat
tamu-tamu asing itu menurunkan barang mereka. Jarak yang cukup jauh membuat
mereka harus mencari tenaga untuk mengangkat barang. Mereka juga menyewa perahu
nelayan untuk mengantar mereka ketengah laut .
Dari situlah aku mulai berkenalan
dengan budaya asing. Aku senang dapat mempraktikan Bahasa Inggris yang aku
pelajari disekolah. Mengantar ke Pantai atau menemani melihat indahnya terumbu
karang dengan ikan-ikannya sering aku lakukan. Sebagai anak nelayan hal
menyelam bukan hal yang asing bagiku. Karena jasaku turis-turis itu biasanya
memberi uang yang cukup banyak. Uang itu bisa aku gunakan menambah biaya sekolahku
Saat aku kelas dua SMA, aku
berkenalan dengan pria Italia Paolo namanya. Perkenalan itu terjadi saat aku
mengantar Paolo dan teman-temanya ke tengah laut untuk menyelam. Ayah
mengemudikan perahu, sedang aku mencoba mengantar mereka walau dengan Bahasa
Inggrisku yang tidak begitu bagus. Rupanya Paolo dan teman-temanya merasa puas
dengan pelayanan yang kami berikan. Buktinya, besoknya mereka datang lagi dan
memintaku mengantar mengunjunggi objek
wisata di daerahku.
Begitulah selama dua minggu aku
menemani Paolo naik gunung, menyelam, bersepeda dan aktifitas lainya. Kebersamaan
itu rupanya menumbuhkan perasaan khusus di hatiku. Aku menyukai Paolo, pria
gagah dengan badan tinggi dan wajah
ganteng khas Italia. Kami pacaran dan Paolo berjanji akan datang tahun depan.
Hubunganku dengan Paolo ternyata
menumbuhkan rasa iri pada masyarakat Desaku. Sejak Paolo kembali kenegaranya
banyak kabar yang sampai padaku, aku dikatakan wanita murahan, berkencan hanya
untuk uang. Ku coba tidak menanggapi hal tersebut.
Setahun kemudian, aku telah lulus
SMA. Paolo datang menemuiku. Seperti pasangan kekasih yang lain kami sering
jalan bersama. Tapi tidak seperti kata orang-orang, dalam berpacaran kami tetap
menjaga diri untuk tidak melakukan hal negatif. Memang Paolo sering mengajaku
menginap di hotel tempatnya tapi aku tidak mau. Aku ingin menunjukan budaya
kami. Sebelum menikah tidak boleh tidur sekamar. Aku tidak ingin mengikuti
budaya free ala barat. Dan Paolo
sangat mengerti hal itu, Ia menghargai prinsipku.
Paolo baru saja selesai berkeliling
dengan sepeda gayungnya. Sebelum
pulang dia mampir kerumahku. Saat itu aku sedang memasak ikan hasil tangkapan
Ayah. Iseng kutawarkan Paolo untuk menunggu aku selesai masak dan mencoba
masakanku. Paolo ternyata setuju. Jadilah malam itu Paolo makan dirumah, Ayah
tidak lupa menawarkan arak Bali pada Paolo. Cukup lama kami tertawa dan
bergurau bersama. Karena seringnya berinteraksi dengan turis asing Ayah dan
kakak sudah menguasai beberapa kata bahasa inggris, mereka sudah bisa ngobrol
dengan Paolo. Jam 10 malam Paolo pamit
pulang.
“I Love You babb...” Tak kusangka Paolo mendaratkan kecupan di pipi
kanan lalu memeluk tubuhku. Saat itu aku bagai diestrum jutaan volt. Aku tak
bisa bereaksi, hanya diam. Pelukan kami terlepas saat suara gaduh tiba-tiba
datang. Beberapa, mungkin juga puluhan orang datang entah dari. Mereka
berteriak dan menangkap aku dan Paolo.
” Wanita murahan,kau telah
mengotori desa ini!”
“ Bakar mereka!“
“ Bakar !”
Mereka membawa kami. Ku lihat
Pamanku sendiri adalah orang yang meminpin orang-orang itu. Dia yang paling
semangat meminta agar aku dan Paolo segera di bakar. Malam itu juga kami dibawa
ke Bale Desa, diadili seperti pencuri. Orang tuaku berusaha membela kami. Mereka
menjelaskan bahwa kami tak melakukan seperti yang mereka tuduhkan. Orang-orang
itu tetap pada pendirianya, mereka melihat kami berpelukan itu alibi mereka. Atas
nama hukum adat mereka tetap akan
menghukum kami.
“Mengapa kalian tidak adil, aku
hanya berpacaran dengan Paolo. Kami tak berpuat hal yang melanggar Adat dan
Agama. Apakah karena aku seorang perempuan? Apa kalian buat atau pura-pura buta
dan tuli! Lihatlah banyak lelaki yang
sengaja menjual dirinya pada bule-bule tua renta agar mendapat limpahan uang.
Mereka, lelaki-lelaki itu bebas memeluk dan mencium wanita bule pasangan mereka
di jalanan. Mengapa ...?! Mengapa mereka tidak di anggap bersalah!“
Sunyi...tak ada suara dari
orang-orang itu.
“Jangan dengarkan wanita ini!“ Teriakan
dari Pamanku kembali membakar amarah warga.
Rapat malam itu
memutuskan Aku harus keluar dari Desa. Aku dianggap bersalah telah
mengotori kesucian Desa. Aku dan Paolo harus menikah dan jika ingin kembali
kedesa harus membayar sejumlah denda.
Malam itu juga aku putusakan untuk
tidak akan kembali ke desa itu. Hukum hanya di ukur dengan uang. Aku tahu
mengapa para “gigolo” dikampungku tak tersentuh hukum, karena mereka rajin menyumbang
dan sering mengajak tokoh-tokoh masyarakat disana untuk minum atau makan-makan.
***
3 bulan yang lalu...
Hari itu aku bersama suami dan
putriku menghadiri acara ulang tahun
kakaknya Paolo. Acara itu diadakan di sebuah Hotel di tengah Kota
Venezia, Italia. Di tengah ramainya suasana pesta seseorang menyapaku, “ Benar ini Luh Sari ? “
Aku pandangi gadis muda di depanku,
dia seorang waitress . “ Siapa ya ? “
“ Saya Made, putri Pak Gede
tetangga bibi di kampung, di Bali ”
Aku ingat sekarang, wanita di
depanku adalah Made Arini ia adalah tetanggaku. Saat aku meninggalkan Desa ia
baru kelas 5 SD.
Made Arini memeluku erat, “ Karena Bibi Luh saya bisa disini
sekarang “
Aku heran, “Karena aku...?”
“Kejadian
malam itu adalah sejarah bagi kaum perempuan desa kita, keberanian bibi yang
mempertanyakan keadilan bagi kaum kita menginspirasi Ibu dan anak-anak
perempuanya untuk berani dan menggantungkan cita-cita setinggi mungkin. Orang
tua juga tersadar bahwa mereka masih sering membedakan antara anak laki dan
perempuan. Andai tidak ada kejadian malam itu mungkin saya tidak akan mendapat
restu bekerja sampai kesini “
Made Arini juga bercerita, ia sudah 2 tahun bekerja di Italia.
Dua tahun lalu saat berangkat ke Itali Orang tuaku berpesan untuk mencoba
mencari keberadaanku. Memang semenjak kejadian itu aku memutus komunikasi
dengan keluarga. Aku benci dengan semua hal yang berkaitan dengan Desa itu, walau
dia keluargaku sendiri. Utamanya aku benci dengan orang-orang yang menangkapku malam itu.
Ayah dan ibuku sudah sakit-sakitan,
terutama Ibu. Tiga tahun sejak aku pergi Ibu mengalami kecelakaan, kakinya
patah dan tulang pinggulnya mengalami masalah. Itu menyebabkan Ibu jadi
cacat dan tidak bisa beraktifitas
seperti semula. Ayah masih tetap melaut seperti
dulu. Kakak lelakiku, setahun setelah aku pergi dia menikah. Ia telah memiliki
seorang putra. Istri kakaklah yang mengganti ibu menjaga warung. Begitulah
informasi tentang keluargaku yang aku dapat dari cerita Made Arini.
***
Hari ini, karena desakan Paolo dan Angel aku bersedia mengisi liburan
ke Bali. Angel sudah 11 tahun, dan ingin sekali mengenal tanah leluhur ibunya. Tapi
aku masih belum mau kembali kedesa. Luka hatiku belum sembuh. Aku tak mau bila
aku kesana aku harus menyerahkan uang sebagai denda atau semacam tebusan. Bukanya
tak punya uang tapi proses yang terjadi saat itu yang membuatku tak punya
semangat untuk menyerahkan sepeser uangpun pada mereka.
“Gimana kalau kita bereuni menyusuri
rute saat kita pacara dulu.” Paolo coba merayuku tapi aku tak mau. Kalau aku
mau berarti aku harus pulang ke desa.
Malam ini kami menikmati makan malam dengan menu khas
Bali, sambil menikmati deburan ombak Pantai Sanur. Suara rindik menggema disela atap alang-alang restaurant
tempat kami makan. Suara itu mengingatkanku pada Ayah. Dan dibalur cahaya
remang kulihat Ayah sedang menabuh bilah-bilah bambu menghasilkan nada rindik tersebut. Kulitnya bertambah
hitam dan guratan keriput menghiasi wajahnya. Rambut Ayah telah memutih. Disela
tarian tangan rentanya yang menabuh
nada-nada merdu ia menatapku dan sebuah senyum tersunggih dari bibirnya.
“ Mami...HPnya bunyi .” Suara Angel
membuyarkan lamunanku.
“LUH SARI aku Gede kakakmu. Ayah dirawat di RS. Tadi
siang ia mengalami kecelakaan. Kakak tidak menyuruhmu untuk pulang tapi
temuilah Ayah...” Begitu isi sms yang kuterima.
Berita
itu sungguh mengejutkan tapi berita itu membantuku mengambil sebuah keputusan.
Karangasem, 20 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar