Aku hanya menunduk tak sanggup menatap dua orang didepanku. Ribuan kata bernada nasehat, rayuan, bahkan bernada ancaman keluar dari mulut mereka. Aku tatap bibir hitam mereka yang menari-nari.
“Kau
mengerti anaku?” Ayah berkata sambil menepuk pundaku.
“Paman
harap kamu bersedia mengemban tugas mulia ini”. Suara paman mencoba
meyakinkanku.
“Ayah,
Paman, biarkan saya berpikir dulu.” Aku mengakhiri diamku yang hampir satu jam
mendengar persentasi mereka.
“Pikirkanlah
dengan baik, ini demi dirimu dan juga keluarga kita. Ayah harap kamu mengambil
keputusan yang bijaksana”. Itu pesan ayah sebelum motor matik hitam yang mereka
naiki meninggalkan halaman kosku. Mereka, ayah dan paman datang menemuiku ke
kos membawa amanat dari keluarga besar kami di kampung. Amanat itu adalah
tentang harapan mereka agar aku bersedia menjadi penjaga keris pusaka
peninggalan leluhur kami. Mereka bilang aku adalah orang yang terpilih
menjalankan tugas itu. Jika aku menolak akan ada bencana yang menimpa keluarga
kami.
Tiga
hari kemudian, melalui telepon aku sampaikan pada ayah, bahwa aku tidak mau
menjadi penjaga keris. Kuliahku memasuki semester akhir jadi aku fokus
menyelesaikan tugas-tugas kuliah, tak ada waktu untuk hal lain. Itu alasan yang
kusampiakan. Padahal alasan sebenarnya karena pikira ilmiahku menolak
mempercayai hal yang mistis seperti itu.
**
1
Pesan Diterima !
Dari
: AdikQ..
“Kakak,
Intan anaknya Om Ketut sakit keras,
sekarang di rawat di rumah sakit
Mungkin
ini bencana karena kakak ga mau jdi penjaga keris..
Beberapa detik kutatap sms dari
adiku. Apa mungkin seperti itu, ah tidak. Itu hanya kebetulan saja Intan sakit,
dari kecil memang dia sering sakit. Apa mungkin hal itu benar? Malam itu aku
gelisah. Sepanjang malam aku mimpi aneh. Dalam mimpiku aku didatangi seorang
pria berpakaian adat Bali, tangan kanannya memegang bungkusan kain kuning. Dari
bentuknya benda yang dipegang lelaki itu adalah keris.
Besoknya adiku sms lagi.
1
Pesan diterima !
Dari
: AdikQ…
Baru saja Paman
di Palu nlpn. katanya anaknya diceraikan oleh suaminya tanpa alasan yang jelas.
kakak,,,cobalah berpikir lagi, jagan biarkan keluarga kita terus dilanda
bencana.
“Ahh..persetan,masalah orang cerai
masak aku yang bersalah.”
“ Tapi…Ia ini salahmu, terima saja tugasmu!”
Begitulah perang batinku
Hari-hariku berikutnya terus
dihantui keris. Tiap malam aku mimpi dikejar keris. Itu hanya mimpi, mungkin aku terlalu
memikirkan keris itu, begitu pikirku. Kabar yang aku terima dari keluarga terus
tentang bencana. Ternaknya mati, kebun karetnya kebakaran, Toko di bobol maling
dan sanak keluarga sedang sakit.
Tapi aku yakin semua takdir mereka,
bukan karena aku tidak mau menjadi penjaga
keris. Mana mungkin leluhur memberatkan keturunanya. Kalaupun benar begitu
berarti leluhur itu tidak bijaksana, melimpahkan tugas atau kesalahan pada kami
yang masih hidup. Dibenaku mulai ditumbuhi hal negatif tentang leluhurku.
Pagi itu, jam ditanganku menunjukan
pukul 07.50.
Tatapanku tertuju pada spanduk yang
terpasang di depan gerbang bangunan “ Selamat Datang Peserta Seminar, Mengenal
Lebih Dekat Keris Bali” Aku ragu melangkah, bodoh banget aku ini. Saat Roy
meminta aku menggantikanya mengikuti seminar aku langsung mengiakan. ”Kamu
gantikan aku, nanti Gus De dan Ayu menunggu disana. Teman-teman HMJ lain pada
sibuk” Begitu ocehan Roy. Sialnya aku tidak konfirmasi tentang materi seminar
itu. Ia sudahlah, tak ada salahnya aku ikut saja.
Pukul 08.35
…” keris adalah simbol laki-laki
bagi orang Bali. Zaman dulu keris dapat menunjukan tinggi rendahnya status seorang …” Saat pembicara sedang membicarakan
filosofi keris tiba-tiba hpku berbunyi.
Itu dari adiku.
“Ada apa? aku sedang mengikuti
seminar..”
“ Aku dengan ayah lagi on
the way ke kos kakak“
“ Ada apa lagi ? “
“ Ada hal penting yang mau mereka
sampaikan.”
“ Ok, setengah jam lagi aku balik”
Kututup telepon dengan rasa gundah.
Di depan ku lihat pembicara sedang
menunjukan sebilah keris, memperkenalkan bagian-bagianya pada peserta seminar. Entah
dari mana datangnya tiba-tiba aku merasa merinding dan ngeri melihat keris yang
di pegang oleh Bapak itu. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak melanjutkan
mengikuti acara itu. Pada kedua temanku aku pamitan ku bilang dengan jujur
bahwa orang tuaku akan datang ke kos jadi aku harus balik sekarang juga. Mereka
mengerti dan mempersilahkanku untuk berangkat.
Kenapa keluargaku tiba-tiba datang
mencariku? Sudah lebih tiga tahun aku kuliah tak sekalipun orangtuaku datang ke
tempat kos. Yang pernah ke kosku cuma adik, itupun sudah setahun lalu. Saat itu
dia mewakili sekolahnya mengikuti sebuah lomba di kota tempat kuliahku, sebelum
pulang ia sempatkan mampir ketempatku.
Tiiiiittttt !!!!!
Aku tersentak, sebuah benda besar
tiba-tiba bergerak cepat kearahku. Pikiranku terlambat menganalisa. Saat aku sadar benda apa itu tubuhku
sudah terlambat bereaksi.
**
Ku sadari diriku sedang berada di
sebuah tempat yang menyerupai bioskop. Di depankua terbentang sebuah layar. Dilayar
itu kulihat dua orang pria gagah, mereka dikelilingi oleh banyak orang. Dua
peremuan sambil mengendong anak kecil nampak sedih. Sepertinya dua orang itu
adalah istri dari pria-pria itu. Orang-orang itu berteriak dengan mengangkat
tangan tinggi keudara, sepertinya mereka memberi semangat pada dua pria gagah
itu. Teriakan terus menggema saat kedua pria itu berjalan, keduanya melangkah
menyusuri jalan setapak. Saat itulah aku sadar bahwa salah satu dari pria itu
mirip dengan Ayahku atau bahkan mirip denganku.
Adegan berikutnya…
Beberapa perahu layar terlihat
bergerak pelan dilautan. Kedua pria gagah terihat duduk diperahu dengan layar
berwarna kotak-kota merah, hitam, dan putih. Di depan mereka berdiri seorang
pria dengan pakaian seperti seorang raja.
Pria itu berkata “Depih, aku dengar
kamu memiliki pasukan berupa wong samar” (mahluk halus).
Pria yang mirip denganku menjawab,
“Ya Gusti Patih, saat ini hamba membawa 2000 pasukan wong samar, tuan bisa rasakan gerak perahu-perahu kita. Keempat
perahu ini bergerak lamban karena memuat 2000 pasukan wong samar itu.
“ Bagus! Aku harap kita bisa pulang
dengan kemenangan tanpa ada pasukan kita yang gugur”
Bersama malam yang mulai datang, perahu
yang mengangkut pasukan itu merapat di pantai. Hujan bersama guntur dan kilat
menyambut kedatangan mereka. Pria yang dipanggil sebagai gusti patih terlihat
berdiri dan mencabut keris di pinggangnya, diancungkanya keris itu keangkasa. Sebuah
kilat menyambar keris tersebut beberapa saat kemudian langit disekitar mereka menjadi cerah, hujan,
guntur dan kilat hilang entah kemana.
“Depih,saatnya kamu keluarkan pasukan wong samarmu!“
Depih begitulah orang yang mirip
denganku dipanggil. Pria itu segera mengeluarkan keris kecil dari pingganya. Sementara
anggota pasukan yang lain tampak duduk rapi. Salah satu diantara mereka berdiri
dan mendekati Depih, dia terlihat memegang seekor ayam hitam.
Leher ayam itu putus di babat oleh
keris ditangan I Depih. Mulut pria itu komat-kamit membaca mantra. Tiba-tiba angin berhembus kencang, suara derap seperti
ribuan kuda berlari terdengar menggema. Angin dan suara itu makin menjauh
bergerak kearah daratan.
“TIDAK…!” Aku berteriak kaget
kulihat keris ditangan I Depih bertambah panjang dan ujungnya bergerak
kearahku, aku berlari keluar bioskop. Keris itu terus bertambah panjang dan
mengejarku.
“ Tidak, Jangan!”
“Keris, keris, jangan!” Aku
berteriak dan terus berlari, tiba-tiba aku melihat kedua orang tuaku. Sekuat tenaga
aku berlari kearah mereka.
“Dokter, dia bergerak, dia siuman!“
Kudengar sayup suara.
**
Ku arahkan pandanganku, selang-selang
infus menghiasi tubuhku. Kaki kananku dibalut perban. Senyum manis Andin adiku
dan tatapan cemas Ayahku langsung terpampang dihadapanku.
“Aku kenapa? “ Hanya itu yang keluar dari mulutku.
Dari cerita Ayah dan adik aku tahu,
bahwa aku mengalami kecelakaan. Bertabrakan dengan mobil saat aku kembali dari
tempat seminar. Aku mengalami luka yang parah, sudah 3 hari aku koma.
Besoknya aku ceritakan mimpiku pada
Ayah. Ayah bilang orang dalam mimpi adalah I Depih leluhur kami yang pemiliki
keris pusaka. Memang menurut cerita dia ikut berberang dan pulang membawa
kemenangan. Saat pulang itu beliau membawa beberapa keris dan benda berharga
lain, itu adalah bukti kemenangan yang diraih di medan perang.
**
Didepanku tergolek 3 buah keris. Satu
persatu ku pegang benda tersebut. Aku memutuskan mau menerima tugas menjaga
keris peninggalan leluhurku. Aku sadar keris ini memiliki nilai sejarah
khususnya bagi keluargaku, jadi selayaknya aku ikut menjaga benda itu. Itu
simbol prestasi yang diraih leluhurku. Mungkin zaman itu prestasi seseorang
diukur dari tingginya ilmu kesaktian yang dimiliki beda dengan sekarang. Pada zamanya
leluhurku telah dipilih oleh kerajaan untuk ikut misi penting. Kalau mau jujur
aku belum ada apa-apanya, aku belum punya prestasi yang membanggakan keluarga. Aku
telah salah meremehkan dan memandang negatif pada leluhur.
Jadilah aku penjaga keris pusaka. Setiap
15 hari sekali keris itu mesti dibersihkan. Ya masuk akal juga, biar keris
tersebut tidak berkarat. Keris itu dibuatkan tempat khusus dirumahku dan tidak
perlu membawa keris itu kemanapun aku pergi. Dulu salah satu alasanku menolak
adalah karena aku kira benda itu harus dibawa kemana-mana. Dan kuliahku berjalan
dengan wajar tidak terganggu oleh keris. Bahkan keris menjadi inspirasiku untuk
meraih prestasi.
Sepeti pamor sebilah keris, begitulah jalan hidup manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar