Pages

Senin, 29 April 2013

1966


IBU :
“ Ibu masih bayi saat itu, paling cuma bisa menangis. Kata kakekmu, saat itu, ibu dibawa oleh kakek dan nenekmu mengungsi ke kebun kami yang ada di timur desa. Kita, bersembunyi dibawah pohon randu besar yang tumbuh disana. Akar randu itu membentuk lorong seperti gua kecil, disitu kami tidur seharian tanpa berani keluar. Untungnya ibu tidak  menangis.”

AYAH :
Itu adalah sore terburuk dalam hidup ayah. Sore yang mencekam dan menakutkan. 
Saat itu usia ayah 7 tahun. Ayah masih sibuk mengusir kawanan pipit yang datang mencari makan siangnya di sawah kita. Kadang ayah harus berlari dipematang sambil memukul kentongan kecil agar burung-burung itu segera lari. Atau melempar batu kearah kawanan burung yang tetap bandel memakan bulir-bulir padi. Saat itulah terdengar teriakan dari teman ayah. Dia menunjuk barisan ratusan orang yang berjalan kearah desa. Mereka berjalan menyusuri jalan sambil berteriak-teriak. Kami yakin itu bukan warga kampung, mereka entah dari mana. Tangan mereka memegang benda-benda tajam.

“Ayo kita pergi mereka akan menyerang kampung kita!” Tiba-tiba Paman dari teman ayah datang.

Kami bertiga berlari kearah barat, menjauh dari jalan tempat orang-orang itu. Kami menaiki bukit kecil yang ada disitu. Dari ketinggian itu ayah lihat mereka menuju kearah 2 rumah yang ada dekat jalan. Tak berapa lama kami mendengar teriakan dan tangisan. Beberapa orang terlihat berlari. Rupanya mereka mengejar pemilik rumah yang mencoba kabur. Ayah sangat takut, badan gemetar melihat orang-orang itu memburu manusia lain seperti akan menangkap anjing gila.  Tak berapa lama asap mengepul. Mereka membakar rumah tersebut.



NENEK :
Nenek tidak akan pernah lupa kejadian sore itu. Saat itu nenek baru saja selesai menidurkan bibimu. Memang hari itu badan bibimu agak panas, ia rewel terus. Karena itulah nenek tidak ikut keladang. Baru saja nenek mengambil pisau untuk  memotong daun talas yang akan digunakan sebagai makanan babi terdengar suara teriakan laki-laki.

“Mereka datang!”  Suara itu terdengar panik.

“Siapa yang datang?” Nenek berdiri dan melangkah kearah lelaki itu.

Nafas lelaki itu memburu, matanya berputar-putar, dia menjawab. “Mereka banyak sekali, semua membawa senjata.”

Saat nenek masih diselimuti kebinggungan terdengar suara ledakan. Disusul dengan suara teriakan dimana-mana.

“Ayo lari, mereka mulai membakar rumah! Suara itu terdengar entah siapa. Yang jelas terdengar suara orang berlarian, suara teriakan pria, wanita, tangisan anak-anak, dan suara kentongan yang dipukul tanpa putus. Setahu nenek itu artinya ada bahaya.

Nenek mulai takut. Asap  terlihat hitam mengangkasa. Bersama rasa cemas yang mulai menyerang, nenek menggendong bibimu, mengambil beberapa pakaian dan barang yang bisa nenek bawa. Tangan ini gemetar, hanya nama Tuhan yang bisa nenek ucapkan saat itu.
Setelah menutup pintu rumah nenek bergegas melangkah. Nenek ingin pergi menemui kakekmu diladang tempat itu lumayan jauh dari desa pasti aman. Beberapa saat berjalan nenek arahkan pandangan kearah rumah. Asap terlihat menyelimuti desa, beberapa rumah tetangga mulai terlihat dilalap api.

“Tuhan lindungi hambamu.” Nenek berlari sekencangnya. Bibimu nenek dekap dengan erat. Nenek ingin cepat berkumpul dengan suami dan semua anak nenek.
**

KAKEK :
Sore itu kakek sedang membajak tegalan ini. Sudah cukup lama kakek mengayunkan cambuk menghiasi pantat sapi-sapi yang mulai letih, saat kakek mendengar teriakan pamanmu kakek langsung menarik kuat tali sapi untuk menghentikan langkah mereka. Ia menunjuki satu titik.

Asap hitam membumbung tinggi. Kakek berlari kearah pohon nangka itu, dan naik ke pohon tersebut. Dari atas pohon nangka kakek melihat kampung kita diselimuti asap, dan api berkobar tinggi. Kakek terkejut melihat kenyataan itu, kebakaran yang begitu besar.  Sambil turun kakek memanggil paman.

“Cepat panggil adikmu, mereka telah datang!”

Pamanmu berlari kearah sungai kecil yang ada disana itu, ia akan menemui adiknya. Memang saat itu bibimu itu sedang menjemur cacah (singkong yang telah diparut/dipotong kecil) dibebatuan kali yang lebar. Kakek sendiri berlari kearah sapi yang masih kelelahan menahan bajak dipundaknya. Dengan tergesa kakek melepaskan bajak tersebut lalu mengiring sapi ke kandangnya. Tak ada waktu untuk memberi sapi-sapi itu minum atau mencarikan daun lantoro untuk makanan.

Kakek berlari kearah gubuk dan mengambil gandil (tas terbuat dari daun lontar). Saat itulah paman dan bibimu datang, nafas mereka memburu, muka mereka pucat, darah seperti telah hilang dari badan mereka. Usia pamanmu 13 tahun dan bibimu 11 tahun saat itu, pantas saja mereka sangat ketakutan mendengar suara ledakan yang berasal dari tiang-tiang bambu yang terbakar. Kakek meninggalkan mereka berdua di dalam gubuk.

“Diam disini, jangan keluar sebelum Ayah datang.” Begitu pesan kakek.

Berikutanya kakek berlari sekencang-kencangnya kearah kampung. Di jalan banyak orang yang berlarian, orang tua maupu anak kecil. Mereka semua dicekam ketakutan. Agar lebih cepat kakek menempuh jalan pintas yaitu menyusuri sungai kering yang ada di tengah desa.

Di pinggiran desa kakek sempat bertemu dengan sepupu kakek. Dia bersama istri dan dua anaknya akan mengungsi ke bukit.

“Sebaiknya kamu jangan pulang, ayo mengungsi orang-orang itu telah membakar rumah pengikut PKI dan menangkap mereka.” Begitu dia berucap diantara nafasnya yang memburu.

Kakek tidak menggubris pesan itu, nenek dan bibimu ada di rumah. Walau kakek bukan anggota PKI tetapi kakek tetap mengkhawatirkan keselamatan mereka. Sampai di desa, suasana saangat mencekam. Asap dan api membumbung dari rumah yang terbakar, suara teriakan dan tangisan berbaur dengan derak kayu yang dilahap api. Wajah-wajah garang dari orang-orang yang entah dari mana datangnya terlihat memenuhi jalana. Mereka menganjungkan senjata, ada pedang, linggis, tombak, keris, dan ada membawa pentungan. Warga yang menjadi anggota PKI ditangkap lalu rumahnya dibakar. Kakek sempat melihat mereka membawa salah satu warga, anak dan istrinya menangis, memohon agar ayah dan suaminya dilepaskan. Anak itu tiba-tiba tersungkur dengan tangan terpisah dari badanya. Salah satu dari mereka menyeka darah yang menetes di pedang dengan  menggunakan jemarinya, lalu jemari itu dimasukan kemulutnya.

Kakek tak tahu harus marah atau tidak, kalau marah pada siapa? Pada mereka yang datang memburu anggota PKI, lalu membakar rumah-rumah anggota PKI tersebut, akibatnya hampir seluruh kampung ikut terbakar, atau pada anggota PKI itu. Kakek hanya bisa menatap api yang melahap rumah dengan rakusanya. Kakek berjalan meninggalkan rumah yang telah lebih 20 tahun kakek diami. Kini semua kenangan menguap bersama asap dan berserakan jadi abu. Lalu kakek berlari sekencangnya, berharap istri dan anak-anak  terhindar dari pemusnahan yang terjadi.
***

14 Maret, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar