Pages

Senin, 29 April 2013

1966


IBU :
“ Ibu masih bayi saat itu, paling cuma bisa menangis. Kata kakekmu, saat itu, ibu dibawa oleh kakek dan nenekmu mengungsi ke kebun kami yang ada di timur desa. Kita, bersembunyi dibawah pohon randu besar yang tumbuh disana. Akar randu itu membentuk lorong seperti gua kecil, disitu kami tidur seharian tanpa berani keluar. Untungnya ibu tidak  menangis.”

AYAH :
Itu adalah sore terburuk dalam hidup ayah. Sore yang mencekam dan menakutkan. 
Saat itu usia ayah 7 tahun. Ayah masih sibuk mengusir kawanan pipit yang datang mencari makan siangnya di sawah kita. Kadang ayah harus berlari dipematang sambil memukul kentongan kecil agar burung-burung itu segera lari. Atau melempar batu kearah kawanan burung yang tetap bandel memakan bulir-bulir padi. Saat itulah terdengar teriakan dari teman ayah. Dia menunjuk barisan ratusan orang yang berjalan kearah desa. Mereka berjalan menyusuri jalan sambil berteriak-teriak. Kami yakin itu bukan warga kampung, mereka entah dari mana. Tangan mereka memegang benda-benda tajam.

“Ayo kita pergi mereka akan menyerang kampung kita!” Tiba-tiba Paman dari teman ayah datang.

Kami bertiga berlari kearah barat, menjauh dari jalan tempat orang-orang itu. Kami menaiki bukit kecil yang ada disitu. Dari ketinggian itu ayah lihat mereka menuju kearah 2 rumah yang ada dekat jalan. Tak berapa lama kami mendengar teriakan dan tangisan. Beberapa orang terlihat berlari. Rupanya mereka mengejar pemilik rumah yang mencoba kabur. Ayah sangat takut, badan gemetar melihat orang-orang itu memburu manusia lain seperti akan menangkap anjing gila.  Tak berapa lama asap mengepul. Mereka membakar rumah tersebut.



NENEK :
Nenek tidak akan pernah lupa kejadian sore itu. Saat itu nenek baru saja selesai menidurkan bibimu. Memang hari itu badan bibimu agak panas, ia rewel terus. Karena itulah nenek tidak ikut keladang. Baru saja nenek mengambil pisau untuk  memotong daun talas yang akan digunakan sebagai makanan babi terdengar suara teriakan laki-laki.

“Mereka datang!”  Suara itu terdengar panik.

“Siapa yang datang?” Nenek berdiri dan melangkah kearah lelaki itu.

Nafas lelaki itu memburu, matanya berputar-putar, dia menjawab. “Mereka banyak sekali, semua membawa senjata.”

Saat nenek masih diselimuti kebinggungan terdengar suara ledakan. Disusul dengan suara teriakan dimana-mana.

“Ayo lari, mereka mulai membakar rumah! Suara itu terdengar entah siapa. Yang jelas terdengar suara orang berlarian, suara teriakan pria, wanita, tangisan anak-anak, dan suara kentongan yang dipukul tanpa putus. Setahu nenek itu artinya ada bahaya.

Nenek mulai takut. Asap  terlihat hitam mengangkasa. Bersama rasa cemas yang mulai menyerang, nenek menggendong bibimu, mengambil beberapa pakaian dan barang yang bisa nenek bawa. Tangan ini gemetar, hanya nama Tuhan yang bisa nenek ucapkan saat itu.
Setelah menutup pintu rumah nenek bergegas melangkah. Nenek ingin pergi menemui kakekmu diladang tempat itu lumayan jauh dari desa pasti aman. Beberapa saat berjalan nenek arahkan pandangan kearah rumah. Asap terlihat menyelimuti desa, beberapa rumah tetangga mulai terlihat dilalap api.

“Tuhan lindungi hambamu.” Nenek berlari sekencangnya. Bibimu nenek dekap dengan erat. Nenek ingin cepat berkumpul dengan suami dan semua anak nenek.
**

KAKEK :
Sore itu kakek sedang membajak tegalan ini. Sudah cukup lama kakek mengayunkan cambuk menghiasi pantat sapi-sapi yang mulai letih, saat kakek mendengar teriakan pamanmu kakek langsung menarik kuat tali sapi untuk menghentikan langkah mereka. Ia menunjuki satu titik.

Asap hitam membumbung tinggi. Kakek berlari kearah pohon nangka itu, dan naik ke pohon tersebut. Dari atas pohon nangka kakek melihat kampung kita diselimuti asap, dan api berkobar tinggi. Kakek terkejut melihat kenyataan itu, kebakaran yang begitu besar.  Sambil turun kakek memanggil paman.

“Cepat panggil adikmu, mereka telah datang!”

Pamanmu berlari kearah sungai kecil yang ada disana itu, ia akan menemui adiknya. Memang saat itu bibimu itu sedang menjemur cacah (singkong yang telah diparut/dipotong kecil) dibebatuan kali yang lebar. Kakek sendiri berlari kearah sapi yang masih kelelahan menahan bajak dipundaknya. Dengan tergesa kakek melepaskan bajak tersebut lalu mengiring sapi ke kandangnya. Tak ada waktu untuk memberi sapi-sapi itu minum atau mencarikan daun lantoro untuk makanan.

Kakek berlari kearah gubuk dan mengambil gandil (tas terbuat dari daun lontar). Saat itulah paman dan bibimu datang, nafas mereka memburu, muka mereka pucat, darah seperti telah hilang dari badan mereka. Usia pamanmu 13 tahun dan bibimu 11 tahun saat itu, pantas saja mereka sangat ketakutan mendengar suara ledakan yang berasal dari tiang-tiang bambu yang terbakar. Kakek meninggalkan mereka berdua di dalam gubuk.

“Diam disini, jangan keluar sebelum Ayah datang.” Begitu pesan kakek.

Berikutanya kakek berlari sekencang-kencangnya kearah kampung. Di jalan banyak orang yang berlarian, orang tua maupu anak kecil. Mereka semua dicekam ketakutan. Agar lebih cepat kakek menempuh jalan pintas yaitu menyusuri sungai kering yang ada di tengah desa.

Di pinggiran desa kakek sempat bertemu dengan sepupu kakek. Dia bersama istri dan dua anaknya akan mengungsi ke bukit.

“Sebaiknya kamu jangan pulang, ayo mengungsi orang-orang itu telah membakar rumah pengikut PKI dan menangkap mereka.” Begitu dia berucap diantara nafasnya yang memburu.

Kakek tidak menggubris pesan itu, nenek dan bibimu ada di rumah. Walau kakek bukan anggota PKI tetapi kakek tetap mengkhawatirkan keselamatan mereka. Sampai di desa, suasana saangat mencekam. Asap dan api membumbung dari rumah yang terbakar, suara teriakan dan tangisan berbaur dengan derak kayu yang dilahap api. Wajah-wajah garang dari orang-orang yang entah dari mana datangnya terlihat memenuhi jalana. Mereka menganjungkan senjata, ada pedang, linggis, tombak, keris, dan ada membawa pentungan. Warga yang menjadi anggota PKI ditangkap lalu rumahnya dibakar. Kakek sempat melihat mereka membawa salah satu warga, anak dan istrinya menangis, memohon agar ayah dan suaminya dilepaskan. Anak itu tiba-tiba tersungkur dengan tangan terpisah dari badanya. Salah satu dari mereka menyeka darah yang menetes di pedang dengan  menggunakan jemarinya, lalu jemari itu dimasukan kemulutnya.

Kakek tak tahu harus marah atau tidak, kalau marah pada siapa? Pada mereka yang datang memburu anggota PKI, lalu membakar rumah-rumah anggota PKI tersebut, akibatnya hampir seluruh kampung ikut terbakar, atau pada anggota PKI itu. Kakek hanya bisa menatap api yang melahap rumah dengan rakusanya. Kakek berjalan meninggalkan rumah yang telah lebih 20 tahun kakek diami. Kini semua kenangan menguap bersama asap dan berserakan jadi abu. Lalu kakek berlari sekencangnya, berharap istri dan anak-anak  terhindar dari pemusnahan yang terjadi.
***

14 Maret, 2013

Kamis, 25 April 2013

PENJAGA KERIS

Ini adalah revisi dari cerpen KERIS.

Aku hanya menunduk tak sanggup menatap dua orang didepanku. Ribuan kata bernada nasehat, rayuan, bahkan bernada ancaman keluar dari mulut mereka. Aku tatap bibir hitam mereka yang menari-nari.
“Kau mengerti anaku?” Ayah berkata sambil menepuk pundaku.
“Paman harap kamu bersedia mengemban tugas mulia ini”. Suara paman mencoba meyakinkanku.
“Ayah, Paman, biarkan saya berpikir dulu.” Aku mengakhiri diamku yang hampir satu jam mendengar persentasi mereka.
“Pikirkanlah dengan baik, ini demi dirimu dan juga keluarga kita. Ayah harap kamu mengambil keputusan yang bijaksana”. Itu pesan ayah sebelum motor matik hitam yang mereka naiki meninggalkan halaman kosku. Mereka, ayah dan paman datang menemuiku ke kos membawa amanat dari keluarga besar kami di kampung. Amanat itu adalah tentang harapan mereka agar aku bersedia menjadi penjaga keris pusaka peninggalan leluhur kami. Mereka bilang aku adalah orang yang terpilih menjalankan tugas itu. Jika aku menolak akan ada bencana yang menimpa keluarga kami.
Tiga hari kemudian, melalui telepon aku sampaikan pada ayah, bahwa aku tidak mau menjadi penjaga keris. Kuliahku memasuki semester akhir jadi aku fokus menyelesaikan tugas-tugas kuliah, tak ada waktu untuk hal lain. Itu alasan yang kusampiakan. Padahal alasan sebenarnya karena pikira ilmiahku menolak mempercayai hal yang mistis seperti itu.
**
1 Pesan Diterima !
Dari : AdikQ..
“Kakak, Intan anaknya Om Ketut sakit keras,
 sekarang di rawat di rumah sakit
Mungkin ini bencana karena kakak ga mau jdi penjaga keris..
Beberapa detik kutatap sms dari adiku. Apa mungkin seperti itu, ah tidak. Itu hanya kebetulan saja Intan sakit, dari kecil memang dia sering sakit. Apa mungkin hal itu benar? Malam itu aku gelisah. Sepanjang malam aku mimpi aneh. Dalam mimpiku aku didatangi seorang pria berpakaian adat Bali, tangan kanannya memegang bungkusan kain kuning. Dari bentuknya benda yang dipegang lelaki itu adalah keris.

Besoknya adiku sms lagi.
1 Pesan diterima !
Dari : AdikQ…
Baru saja Paman di Palu nlpn. katanya anaknya diceraikan oleh suaminya tanpa alasan yang jelas. kakak,,,cobalah berpikir lagi, jagan biarkan keluarga kita terus dilanda bencana.

“Ahh..persetan,masalah orang cerai masak aku yang bersalah.”

 “ Tapi…Ia ini salahmu, terima saja tugasmu!” Begitulah perang batinku

Hari-hariku berikutnya terus dihantui keris. Tiap malam aku mimpi dikejar  keris. Itu hanya mimpi, mungkin aku terlalu memikirkan keris itu, begitu pikirku. Kabar yang aku terima dari keluarga terus tentang bencana. Ternaknya mati, kebun karetnya kebakaran, Toko di bobol maling dan sanak keluarga sedang sakit.

Tapi aku yakin semua takdir mereka, bukan karena aku tidak mau menjadi  penjaga keris. Mana mungkin leluhur memberatkan keturunanya. Kalaupun benar begitu berarti leluhur itu tidak bijaksana, melimpahkan tugas atau kesalahan pada kami yang masih hidup. Dibenaku mulai ditumbuhi hal negatif tentang leluhurku.

Pagi itu, jam ditanganku menunjukan pukul 07.50.
Tatapanku tertuju pada spanduk yang terpasang di depan gerbang bangunan “ Selamat Datang Peserta Seminar, Mengenal Lebih Dekat Keris Bali” Aku ragu melangkah, bodoh banget aku ini. Saat Roy meminta aku menggantikanya mengikuti seminar aku langsung mengiakan. ”Kamu gantikan aku, nanti Gus De dan Ayu menunggu disana. Teman-teman HMJ lain pada sibuk” Begitu ocehan Roy. Sialnya aku tidak konfirmasi tentang materi seminar itu. Ia sudahlah, tak ada salahnya aku ikut saja.

Pukul 08.35
…” keris adalah simbol laki-laki bagi orang Bali. Zaman dulu keris dapat menunjukan tinggi rendahnya status  seorang …” Saat pembicara sedang membicarakan filosofi  keris tiba-tiba hpku berbunyi. Itu dari adiku.

“Ada apa? aku sedang mengikuti seminar..”

“ Aku dengan ayah  lagi on the way ke kos  kakak“

“ Ada apa lagi ? “

“ Ada hal penting yang mau mereka sampaikan.”

“ Ok, setengah jam lagi aku balik” Kututup telepon dengan rasa gundah.

Di depan ku lihat pembicara sedang menunjukan sebilah keris, memperkenalkan bagian-bagianya pada peserta seminar. Entah dari mana datangnya tiba-tiba aku merasa merinding dan ngeri melihat keris yang di pegang oleh Bapak itu. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak melanjutkan mengikuti acara itu. Pada kedua temanku aku pamitan ku bilang dengan jujur bahwa orang tuaku akan datang ke kos jadi aku harus balik sekarang juga. Mereka mengerti dan mempersilahkanku untuk berangkat.

Kenapa keluargaku tiba-tiba datang mencariku? Sudah lebih tiga tahun aku kuliah tak sekalipun orangtuaku datang ke tempat kos. Yang pernah ke kosku cuma adik, itupun sudah setahun lalu. Saat itu dia mewakili sekolahnya mengikuti sebuah lomba di kota tempat kuliahku, sebelum pulang ia sempatkan mampir ketempatku.

Tiiiiittttt !!!!!

Aku tersentak, sebuah benda besar tiba-tiba bergerak cepat kearahku. Pikiranku terlambat  menganalisa. Saat aku sadar benda apa itu  tubuhku  sudah terlambat bereaksi.
**
Ku sadari diriku sedang berada di sebuah tempat yang menyerupai bioskop. Di depankua terbentang sebuah layar. Dilayar itu kulihat dua orang pria gagah, mereka dikelilingi oleh banyak orang. Dua peremuan sambil mengendong anak kecil nampak sedih. Sepertinya dua orang itu adalah istri dari pria-pria itu. Orang-orang itu berteriak dengan mengangkat tangan tinggi keudara, sepertinya mereka memberi semangat pada dua pria gagah itu. Teriakan terus menggema saat kedua pria itu berjalan, keduanya melangkah menyusuri jalan setapak. Saat itulah aku sadar bahwa salah satu dari pria itu mirip dengan Ayahku atau bahkan mirip denganku.

Adegan berikutnya…

Beberapa perahu layar terlihat bergerak pelan dilautan. Kedua pria gagah terihat duduk diperahu dengan layar berwarna kotak-kota merah, hitam, dan putih. Di depan mereka berdiri seorang pria dengan pakaian seperti seorang raja.

Pria itu berkata “Depih, aku dengar kamu memiliki pasukan  berupa wong samar” (mahluk halus).

Pria yang mirip denganku menjawab, “Ya Gusti Patih, saat ini hamba membawa 2000 pasukan wong samar, tuan bisa rasakan gerak perahu-perahu kita. Keempat perahu ini bergerak lamban karena memuat 2000 pasukan wong samar itu.

“ Bagus! Aku harap kita bisa pulang dengan kemenangan tanpa ada pasukan kita yang gugur”

Bersama malam yang mulai datang, perahu yang mengangkut pasukan itu merapat di pantai. Hujan bersama guntur dan kilat menyambut kedatangan mereka. Pria yang dipanggil sebagai gusti patih terlihat berdiri dan mencabut keris di pinggangnya, diancungkanya keris itu keangkasa. Sebuah kilat menyambar keris tersebut beberapa saat kemudian  langit disekitar mereka menjadi cerah, hujan, guntur dan kilat hilang entah kemana.

“Depih,saatnya  kamu keluarkan pasukan wong samarmu!“

Depih begitulah orang yang mirip denganku dipanggil. Pria itu segera mengeluarkan keris kecil dari pingganya. Sementara anggota pasukan yang lain tampak duduk rapi. Salah satu diantara mereka berdiri dan mendekati Depih, dia terlihat memegang seekor ayam hitam.

Leher ayam itu putus di babat oleh keris ditangan I Depih. Mulut pria itu komat-kamit membaca mantra. Tiba-tiba  angin berhembus kencang, suara derap seperti ribuan kuda berlari terdengar menggema. Angin dan suara itu makin menjauh bergerak kearah daratan.

“TIDAK…!” Aku berteriak kaget kulihat keris ditangan I Depih bertambah panjang dan ujungnya bergerak kearahku, aku berlari keluar bioskop. Keris itu terus bertambah panjang dan mengejarku.

“ Tidak, Jangan!”

“Keris, keris, jangan!” Aku berteriak dan terus berlari, tiba-tiba aku melihat kedua orang tuaku. Sekuat tenaga aku berlari kearah mereka.

“Dokter, dia bergerak, dia siuman!“ Kudengar sayup suara.

**
Ku arahkan pandanganku, selang-selang infus menghiasi tubuhku. Kaki kananku dibalut perban. Senyum manis Andin adiku dan tatapan cemas Ayahku langsung terpampang dihadapanku.

“Aku kenapa? “  Hanya itu yang keluar dari mulutku.
Dari cerita Ayah dan adik aku tahu, bahwa aku mengalami kecelakaan. Bertabrakan dengan mobil saat aku kembali dari tempat seminar. Aku mengalami luka yang parah, sudah 3 hari aku koma.

Besoknya aku ceritakan mimpiku pada Ayah. Ayah bilang orang dalam mimpi adalah I Depih leluhur kami yang pemiliki keris pusaka. Memang menurut cerita dia ikut berberang dan pulang membawa kemenangan. Saat pulang itu beliau membawa beberapa keris dan benda berharga lain, itu adalah bukti kemenangan yang diraih di medan perang.
**

Didepanku tergolek 3 buah keris. Satu persatu ku pegang benda tersebut. Aku memutuskan mau menerima tugas menjaga keris peninggalan leluhurku. Aku sadar keris ini memiliki nilai sejarah khususnya bagi keluargaku, jadi selayaknya aku ikut menjaga benda itu. Itu simbol prestasi yang diraih leluhurku. Mungkin zaman itu prestasi seseorang diukur dari tingginya ilmu kesaktian yang dimiliki beda dengan sekarang. Pada zamanya leluhurku telah dipilih oleh kerajaan untuk ikut misi penting. Kalau mau jujur aku belum ada apa-apanya, aku belum punya prestasi yang membanggakan keluarga. Aku telah salah meremehkan dan memandang negatif pada leluhur.

Jadilah aku penjaga keris pusaka. Setiap 15 hari sekali keris itu mesti dibersihkan. Ya masuk akal juga, biar keris tersebut tidak berkarat. Keris itu dibuatkan tempat khusus dirumahku dan tidak perlu membawa keris itu kemanapun aku pergi. Dulu salah satu alasanku menolak adalah karena aku kira benda itu harus  dibawa kemana-mana. Dan kuliahku berjalan dengan wajar tidak terganggu oleh keris. Bahkan keris menjadi inspirasiku untuk meraih prestasi.

Sepeti pamor  sebilah keris, begitulah jalan hidup manusia.



Selasa, 16 April 2013

WS Rendra : Sajak Sebatang Lisong


menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka

matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak - kanak
tanpa pendidikan

aku bertanya
tetapi pertanyaan - pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis - papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan

delapan juta kanak - kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
..........................

menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana - sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan

dan di langit
para teknokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

gunung - gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes - protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam

aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair - penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan
termangu - mangu di kaki dewi kesenian

bunga - bunga bangsa tahun depan
berkunang - kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta - juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
.................................

kita mesti berhenti membeli rumus - rumus asing
diktat - diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa - desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata

inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan

RENDRA
( itb bandung - 19 agustus 1978 )

Jumat, 12 April 2013

Jadwal Semifinal Liga Champions Eropa 2013

Empat tim telah memastikan lolos kesemifinal liga champions eropa 2013. Mereka adalah dua klub Spanyol yaitu Barcelona dan Real Madrid. Jerman juga mengirimkan dua wakilnya yaitu Bayern Munchen dan Borussia Dortmound.

Hari ini UEFA telah melakukan undian semifinal yang hasilnya adalah :

BAYERN MUNCHEN  VS  BARCELONA

BORUSSIA DORTMUND  VS  REAL MADRID

Dengan hasil itu dipastikan akan terjadi duel Jerman VS Spanyol di semifinal tahun ini.
Pertandingan pertama Munchen VS Barcelona  23 April  dan pertandingan kedua berlangsung di Spanyol pada 1 Mei. Sementara Dortmund akan menjamu Madrid pada 24 April dan harus bertandang ke Santiago Bernabeu pada 30 Mei 2013.

Mari kita tunggu tim mana yang akan maju ke partai puncak yang akan berlangsung di Wembley, Inggris.

Selasa, 09 April 2013

LUH SARI


BALI...
Tak pernah terbayang olehku kalau aku akan kembali menginjakan kaki di Pulau ini. Tanah tempat aku dilahirkan 32 tahun yang lalu. Hari ini untuk pertama kalinya sejak 12  tahun aku kembali. Aku kembali ke Bali bersama Paolo suamiku dan Angel putriku.
Aku terlahir dengan nama Luh Sari. Dusun kecil di Kabupaten Karangasem yang terletak diujung timur Pulau Bali adalah tempatku dilahirkan. Keadaan ekonomi keluargaku tidak begitu bagus. Ayaku adalah seorang nelayan  dan Ibu mempunyai warung kecil yang menjual sembako dan  berbagai peralatan nelayan. Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamaku adalah perempuan Ia  menikah dalam usia sangat muda. Setelah menerima ijasah SDnya ia langsung menikah. Kakak keduaku seorang lelaki. Pagi hari ia ke laut mencari ikan, siang dan malamnya dijalani dengan mabuk-mabukan dan judi.
Berbeda dengan anak perempuan lain di desa aku bisa dikatakan beruntung, karena orang tuaku memiliki pandangan yang cukup luas terutama mengenai pendidikan putra-putrinya. Orang tua lain umunya hanya menyekolahkan anak lelakinya ke SMP atau SMA, sedang anak perempuan paling lulus SD sudah cukup. Orang tuaku ingin agar putra-putrinya memiliki pendidikan yang cukup. Minimal SMP seperti kebanyakan anak-anak di desa kami. Tetapi kedua kakaku berpendapat lain, mereka memilih jalan hidup yang menurut mereka lebih baik. Kakak lelakiku beralasan sekolah yang tinggi tidak menjamin seseorang mampu menghasilkan uang, bisa membaca dan menulis sudah cukup. Banyak sarjana menganggur, kalau mau menjadi PNS harus memakai uang ratusan juta. Memang betul, di desa kami  baru ada 3 pemuda yang bergelar Sarjana, tetapi  ketiganya jadi pengangguran. Namun aku punya pendapat berbeda, aku akan tetap bersekolah selama orang tuaku mampu membiayai, karenanya aku harus membantu mereka dalam mencari nafkah.
 Saat aku SMP, setiap pulang sekolah aku membantu ibu menunggui warung. Ketika itu desaku mulai di datangi turis asing maupun domestik. Mereka datang untuk  melihat pemandangan bawah laut di desaku. Kata mereka ikan dan terumbu karang disana sangat indah.
Warung kami setiap hari dikunjungi turis asing yang ingin membeli minuman atau mencari orang untuk mau membawakan barang mereka ke pantai. Memang kami berada di pinggir jalan raya tempat tamu-tamu asing itu menurunkan barang mereka. Jarak yang cukup jauh membuat mereka harus mencari tenaga untuk mengangkat barang. Mereka juga menyewa perahu nelayan untuk mengantar mereka ketengah laut .
Dari situlah aku mulai berkenalan dengan budaya asing. Aku senang dapat mempraktikan Bahasa Inggris yang aku pelajari disekolah. Mengantar ke Pantai atau menemani melihat indahnya terumbu karang dengan ikan-ikannya sering aku lakukan. Sebagai anak nelayan hal menyelam bukan hal yang asing bagiku. Karena jasaku turis-turis itu biasanya memberi uang yang cukup banyak. Uang itu bisa aku gunakan menambah biaya  sekolahku
Saat aku kelas dua SMA, aku berkenalan dengan pria Italia Paolo namanya. Perkenalan itu terjadi saat aku mengantar Paolo dan teman-temanya ke tengah laut untuk menyelam. Ayah mengemudikan perahu, sedang aku mencoba mengantar mereka walau dengan Bahasa Inggrisku yang tidak begitu bagus. Rupanya Paolo dan teman-temanya merasa puas dengan pelayanan yang kami berikan. Buktinya, besoknya mereka datang lagi dan memintaku mengantar  mengunjunggi objek wisata di daerahku.
Begitulah selama dua minggu aku menemani Paolo naik gunung, menyelam, bersepeda dan aktifitas lainya. Kebersamaan itu rupanya menumbuhkan perasaan khusus di hatiku. Aku menyukai Paolo, pria gagah dengan badan tinggi  dan wajah ganteng khas Italia. Kami pacaran dan Paolo berjanji akan datang tahun depan.
Hubunganku dengan Paolo ternyata menumbuhkan rasa iri pada masyarakat Desaku. Sejak Paolo kembali kenegaranya banyak kabar yang sampai padaku, aku dikatakan wanita murahan, berkencan hanya untuk uang. Ku coba tidak menanggapi hal tersebut.
Setahun kemudian, aku telah lulus SMA. Paolo datang menemuiku. Seperti pasangan kekasih yang lain kami sering jalan bersama. Tapi tidak seperti kata orang-orang, dalam berpacaran kami tetap menjaga diri untuk tidak melakukan hal negatif. Memang Paolo sering mengajaku menginap di hotel tempatnya tapi aku tidak mau. Aku ingin menunjukan budaya kami. Sebelum menikah tidak boleh tidur sekamar. Aku tidak ingin mengikuti budaya free ala barat. Dan Paolo sangat mengerti hal itu, Ia menghargai prinsipku.
Paolo baru saja selesai berkeliling dengan sepeda gayungnya. Sebelum pulang dia mampir kerumahku. Saat itu aku sedang memasak ikan hasil tangkapan Ayah. Iseng kutawarkan Paolo untuk menunggu aku selesai masak dan mencoba masakanku. Paolo ternyata setuju. Jadilah malam itu Paolo makan dirumah, Ayah tidak lupa menawarkan arak Bali pada Paolo. Cukup lama kami tertawa dan bergurau bersama. Karena seringnya berinteraksi dengan turis asing Ayah dan kakak sudah menguasai beberapa kata bahasa inggris, mereka sudah bisa ngobrol dengan Paolo. Jam 10  malam Paolo pamit pulang.
I Love You babb...” Tak kusangka Paolo mendaratkan kecupan di pipi kanan lalu memeluk tubuhku. Saat itu aku bagai diestrum jutaan volt. Aku tak bisa bereaksi, hanya diam. Pelukan kami terlepas saat suara gaduh tiba-tiba datang. Beberapa, mungkin juga puluhan orang datang entah dari. Mereka berteriak dan menangkap aku dan Paolo.
” Wanita murahan,kau telah mengotori desa ini!”
“ Bakar mereka!“
“ Bakar !”
Mereka membawa kami. Ku lihat Pamanku sendiri adalah orang yang meminpin orang-orang itu. Dia yang paling semangat meminta agar aku dan Paolo segera di bakar. Malam itu juga kami dibawa ke Bale Desa, diadili seperti pencuri. Orang tuaku berusaha membela kami. Mereka menjelaskan bahwa kami tak melakukan seperti yang mereka tuduhkan. Orang-orang itu tetap pada pendirianya, mereka melihat kami berpelukan itu alibi mereka. Atas nama hukum adat mereka  tetap akan menghukum kami.
“Mengapa kalian tidak adil, aku hanya berpacaran dengan Paolo. Kami tak berpuat hal yang melanggar Adat dan Agama. Apakah karena aku seorang perempuan? Apa kalian buat atau pura-pura buta dan tuli!  Lihatlah banyak lelaki yang sengaja menjual dirinya pada bule-bule tua renta agar mendapat limpahan uang. Mereka, lelaki-lelaki itu bebas memeluk dan mencium wanita bule pasangan mereka di jalanan. Mengapa ...?! Mengapa mereka tidak di anggap bersalah!“
Sunyi...tak ada suara dari orang-orang itu.
“Jangan dengarkan wanita ini!“ Teriakan dari Pamanku kembali membakar amarah warga.
Rapat  malam itu  memutuskan Aku harus keluar dari Desa. Aku dianggap bersalah telah mengotori kesucian Desa. Aku dan Paolo harus menikah dan jika ingin kembali kedesa harus membayar sejumlah denda.
Malam itu juga aku putusakan untuk tidak akan kembali ke desa itu. Hukum hanya di ukur dengan uang. Aku tahu mengapa para “gigolo” dikampungku tak tersentuh hukum, karena mereka rajin menyumbang dan sering mengajak tokoh-tokoh masyarakat disana untuk minum atau makan-makan.
***
 3 bulan yang  lalu...
Hari itu aku bersama suami dan putriku menghadiri acara ulang tahun  kakaknya  Paolo. Acara itu  diadakan di sebuah Hotel di tengah Kota Venezia, Italia. Di tengah ramainya suasana pesta  seseorang menyapaku, “ Benar ini Luh Sari ? “
Aku pandangi gadis muda di depanku, dia seorang waitress . “ Siapa ya ? “
“ Saya Made, putri Pak Gede tetangga bibi di kampung, di Bali ”
Aku ingat sekarang, wanita di depanku adalah Made Arini ia adalah tetanggaku. Saat aku meninggalkan Desa ia baru  kelas 5 SD.
Made Arini memeluku erat,  “ Karena Bibi Luh saya bisa disini sekarang  “
Aku heran, “Karena aku...?”
  “Kejadian malam itu adalah sejarah bagi kaum perempuan desa kita, keberanian bibi yang mempertanyakan keadilan bagi kaum kita menginspirasi Ibu dan anak-anak perempuanya untuk berani dan menggantungkan cita-cita setinggi mungkin. Orang tua juga tersadar bahwa mereka masih sering membedakan antara anak laki dan perempuan. Andai tidak ada kejadian malam itu mungkin saya tidak akan mendapat restu bekerja sampai kesini “
Made Arini juga  bercerita, ia sudah 2 tahun bekerja di Italia. Dua tahun lalu saat berangkat ke Itali Orang tuaku berpesan untuk mencoba mencari keberadaanku. Memang semenjak kejadian itu aku memutus komunikasi dengan keluarga. Aku benci dengan semua hal yang berkaitan dengan Desa itu, walau dia keluargaku sendiri. Utamanya aku benci dengan  orang-orang yang menangkapku malam itu.
Ayah dan ibuku sudah sakit-sakitan, terutama Ibu. Tiga tahun sejak aku pergi Ibu mengalami kecelakaan, kakinya patah dan tulang pinggulnya mengalami masalah. Itu menyebabkan Ibu jadi cacat  dan tidak bisa beraktifitas seperti semula. Ayah masih  tetap melaut seperti dulu. Kakak lelakiku, setahun setelah aku pergi dia menikah. Ia telah memiliki seorang putra. Istri kakaklah yang mengganti ibu menjaga warung. Begitulah informasi tentang keluargaku yang aku dapat dari cerita Made Arini.
***
Hari ini, karena desakan  Paolo dan Angel aku bersedia mengisi liburan ke Bali. Angel sudah 11 tahun, dan ingin sekali mengenal tanah leluhur ibunya. Tapi aku masih belum mau kembali kedesa. Luka hatiku belum sembuh. Aku tak mau bila aku kesana aku harus menyerahkan uang sebagai denda atau semacam tebusan. Bukanya tak punya uang tapi proses yang terjadi saat itu yang membuatku tak punya semangat untuk menyerahkan sepeser uangpun pada mereka.
“Gimana kalau kita bereuni menyusuri rute saat kita pacara dulu.” Paolo coba merayuku tapi aku tak mau. Kalau aku mau berarti aku harus pulang ke desa.
Malam ini  kami menikmati makan malam dengan menu khas Bali, sambil menikmati deburan ombak Pantai Sanur. Suara rindik menggema disela atap alang-alang  restaurant tempat kami makan. Suara itu mengingatkanku pada Ayah. Dan dibalur cahaya remang kulihat Ayah sedang menabuh bilah-bilah bambu menghasilkan nada rindik tersebut. Kulitnya bertambah hitam dan guratan keriput menghiasi wajahnya. Rambut Ayah telah memutih. Disela tarian tangan rentanya yang  menabuh nada-nada merdu ia menatapku dan sebuah senyum tersunggih dari bibirnya.
“ Mami...HPnya bunyi .” Suara Angel membuyarkan lamunanku.
“LUH SARI  aku Gede kakakmu. Ayah dirawat di RS. Tadi siang ia mengalami kecelakaan. Kakak tidak menyuruhmu untuk pulang tapi temuilah Ayah...” Begitu isi sms yang kuterima.
            Berita itu sungguh mengejutkan tapi berita itu membantuku mengambil sebuah keputusan.



Karangasem, 20 Juli 2012