IBU :
“
Ibu masih bayi saat itu, paling cuma bisa menangis. Kata kakekmu, saat itu, ibu
dibawa oleh kakek dan nenekmu mengungsi ke kebun kami yang ada di timur desa.
Kita, bersembunyi dibawah pohon randu besar yang tumbuh disana. Akar randu itu membentuk
lorong seperti gua kecil, disitu kami tidur seharian tanpa berani keluar. Untungnya
ibu tidak menangis.”
AYAH :
Itu adalah sore terburuk dalam
hidup ayah. Sore yang mencekam dan menakutkan.
Saat itu usia ayah 7 tahun. Ayah
masih sibuk mengusir kawanan pipit yang datang mencari makan siangnya di sawah
kita. Kadang ayah harus berlari dipematang sambil memukul kentongan kecil agar
burung-burung itu segera lari. Atau melempar batu kearah kawanan burung yang
tetap bandel memakan bulir-bulir padi. Saat itulah terdengar teriakan dari
teman ayah. Dia menunjuk barisan ratusan orang yang berjalan kearah desa. Mereka
berjalan menyusuri jalan sambil berteriak-teriak. Kami yakin itu bukan warga
kampung, mereka entah dari mana. Tangan mereka memegang benda-benda tajam.
“Ayo kita pergi mereka akan
menyerang kampung kita!” Tiba-tiba Paman dari teman ayah datang.
Kami bertiga berlari kearah barat,
menjauh dari jalan tempat orang-orang itu. Kami menaiki bukit kecil yang ada
disitu. Dari ketinggian itu ayah lihat mereka menuju kearah 2 rumah yang ada
dekat jalan. Tak berapa lama kami mendengar teriakan dan tangisan. Beberapa orang
terlihat berlari. Rupanya mereka mengejar pemilik rumah yang mencoba kabur.
Ayah sangat takut, badan gemetar melihat orang-orang itu memburu manusia lain
seperti akan menangkap anjing gila. Tak
berapa lama asap mengepul. Mereka membakar rumah tersebut.
NENEK :
Nenek tidak akan pernah lupa
kejadian sore itu. Saat itu nenek baru saja selesai menidurkan bibimu. Memang
hari itu badan bibimu agak panas, ia rewel terus. Karena itulah nenek tidak
ikut keladang. Baru saja nenek mengambil pisau untuk memotong daun talas yang akan digunakan
sebagai makanan babi terdengar suara teriakan laki-laki.
“Mereka datang!” Suara itu terdengar panik.
“Siapa yang datang?” Nenek berdiri
dan melangkah kearah lelaki itu.
Nafas lelaki itu memburu, matanya
berputar-putar, dia menjawab. “Mereka banyak sekali, semua membawa senjata.”
Saat nenek masih diselimuti
kebinggungan terdengar suara ledakan. Disusul dengan suara teriakan
dimana-mana.
“Ayo lari, mereka mulai membakar
rumah! Suara itu terdengar entah siapa. Yang jelas terdengar suara orang
berlarian, suara teriakan pria, wanita, tangisan anak-anak, dan suara kentongan
yang dipukul tanpa putus. Setahu nenek itu artinya ada bahaya.
Nenek mulai takut. Asap terlihat hitam mengangkasa. Bersama rasa
cemas yang mulai menyerang, nenek menggendong bibimu, mengambil beberapa
pakaian dan barang yang bisa nenek bawa. Tangan ini gemetar, hanya nama Tuhan
yang bisa nenek ucapkan saat itu.
Setelah menutup pintu rumah nenek
bergegas melangkah. Nenek ingin pergi menemui kakekmu diladang tempat itu
lumayan jauh dari desa pasti aman. Beberapa saat berjalan nenek arahkan
pandangan kearah rumah. Asap terlihat menyelimuti desa, beberapa rumah tetangga
mulai terlihat dilalap api.
“Tuhan lindungi hambamu.” Nenek
berlari sekencangnya. Bibimu nenek dekap dengan erat. Nenek ingin cepat
berkumpul dengan suami dan semua anak nenek.
**
KAKEK :
Sore itu kakek sedang membajak
tegalan ini. Sudah cukup lama kakek mengayunkan cambuk menghiasi pantat
sapi-sapi yang mulai letih, saat kakek mendengar teriakan pamanmu kakek
langsung menarik kuat tali sapi untuk menghentikan langkah mereka. Ia menunjuki
satu titik.
Asap hitam membumbung tinggi. Kakek
berlari kearah pohon nangka itu, dan naik ke pohon tersebut. Dari atas pohon
nangka kakek melihat kampung kita diselimuti asap, dan api berkobar tinggi.
Kakek terkejut melihat kenyataan itu, kebakaran yang begitu besar. Sambil turun kakek memanggil paman.
“Cepat panggil adikmu, mereka telah
datang!”
Pamanmu berlari kearah sungai kecil
yang ada disana itu, ia akan menemui adiknya. Memang saat itu bibimu itu sedang
menjemur cacah (singkong yang telah
diparut/dipotong kecil) dibebatuan kali yang lebar. Kakek sendiri berlari
kearah sapi yang masih kelelahan menahan bajak dipundaknya. Dengan tergesa
kakek melepaskan bajak tersebut lalu mengiring sapi ke kandangnya. Tak ada
waktu untuk memberi sapi-sapi itu minum atau mencarikan daun lantoro untuk
makanan.
Kakek berlari kearah gubuk dan
mengambil gandil (tas terbuat dari
daun lontar). Saat itulah paman dan bibimu datang, nafas mereka memburu, muka
mereka pucat, darah seperti telah hilang dari badan mereka. Usia pamanmu 13
tahun dan bibimu 11 tahun saat itu, pantas saja mereka sangat ketakutan
mendengar suara ledakan yang berasal dari tiang-tiang bambu yang terbakar.
Kakek meninggalkan mereka berdua di dalam gubuk.
“Diam disini, jangan keluar sebelum
Ayah datang.” Begitu pesan kakek.
Berikutanya kakek berlari
sekencang-kencangnya kearah kampung. Di jalan banyak orang yang berlarian,
orang tua maupu anak kecil. Mereka semua dicekam ketakutan. Agar lebih cepat kakek
menempuh jalan pintas yaitu menyusuri sungai kering yang ada di tengah desa.
Di pinggiran desa kakek sempat
bertemu dengan sepupu kakek. Dia bersama istri dan dua anaknya akan mengungsi
ke bukit.
“Sebaiknya kamu jangan pulang, ayo
mengungsi orang-orang itu telah membakar rumah pengikut PKI dan menangkap
mereka.” Begitu dia berucap diantara nafasnya yang memburu.
Kakek tidak menggubris pesan itu,
nenek dan bibimu ada di rumah. Walau kakek bukan anggota PKI tetapi kakek tetap
mengkhawatirkan keselamatan mereka. Sampai di desa, suasana saangat mencekam.
Asap dan api membumbung dari rumah yang terbakar, suara teriakan dan tangisan
berbaur dengan derak kayu yang dilahap api. Wajah-wajah garang dari orang-orang
yang entah dari mana datangnya terlihat memenuhi jalana. Mereka menganjungkan
senjata, ada pedang, linggis, tombak, keris, dan ada membawa pentungan. Warga
yang menjadi anggota PKI ditangkap lalu rumahnya dibakar. Kakek sempat melihat
mereka membawa salah satu warga, anak dan istrinya menangis, memohon agar ayah
dan suaminya dilepaskan. Anak itu tiba-tiba tersungkur dengan tangan terpisah
dari badanya. Salah satu dari mereka menyeka darah yang menetes di pedang dengan
menggunakan jemarinya, lalu jemari itu
dimasukan kemulutnya.
Kakek tak tahu harus marah atau
tidak, kalau marah pada siapa? Pada mereka yang datang memburu anggota PKI,
lalu membakar rumah-rumah anggota PKI tersebut, akibatnya hampir seluruh
kampung ikut terbakar, atau pada anggota PKI itu. Kakek hanya bisa menatap api
yang melahap rumah dengan rakusanya. Kakek berjalan meninggalkan rumah yang
telah lebih 20 tahun kakek diami. Kini semua kenangan menguap bersama asap dan
berserakan jadi abu. Lalu kakek berlari sekencangnya, berharap istri dan
anak-anak terhindar dari pemusnahan yang
terjadi.
***
14
Maret, 2013