Pages

Kamis, 08 Agustus 2013

Bukit Gelombang


Sebuah bukit bernama Bukit Gelombang adalah tempatku dilahirkan. Kenapa namanya Bukit Gelombang, saat aku tanya pada orangtuaku mereka tak pernah memberi jawaban yang memuaskan. Bukit Gelombang terletak di Desa atau di Bali disebut Banjar, yaitu Banjar Bangle. Nah, kalau Bangle itu bahasa Bali yang artinya adalah nama sejenis tumbuhan yang katanya menyerupai kunyit/kunir. Aku juga tak pernah melihat bagaimana bentuknya tanaman tersebut. Di Bukit Gelombang itulah orangtuaku tinggal dalam dua buah gubuk bambu beratap ilalang. Bangunan satu berfungsi sebagai dapur dan yang satunya lagi sebagai kamar tidur. Bangunan itu sengaja dibangun berhadap-hadapan. Di  selatan rumah ada sebuah kolam ikan. Sementara di utara ada kandang sapi. Kandang itu dihuni dua ekor sapi betina beserta seekor anaknya yang baru dua bulan. Rumah atau tepatnya gubuk kami terletak di tengah ladang.  Barisan pohon jambu yang berbuah lebat memagari gubuk kami.
 
Menurut cerita yang kudengar dari ayahku, aku dengarnya ga sengaja saat itu ayah ngobrol dengan temanya. Aku lahir ditolong oleh dukun. Dukun beranak, yang menolong ibu-ibu yang melahirkan, bukan dukun santet ya. Kalau mencari bidan jauh banget di kota kecamata yang letaknya puluhan kilometer. Saat itu malam berpayung sinar redup purnama yang tertutup awan berarak. Dibalai bambu dapur kami, ibu mempertaruhkan segalanya untuk mendapat tiket sorga yaitu dengan melahirkan anak yaitu aku. Tangisan pertamaku menggema memenuhi lembah di Bukit Gelombang. Saat mendengar tangisanku sapi mengibas-ibaskan ekornya tanda gembira.  Ayam-ayam peliharaan ayah juga berteriak sahut-menyahut. Si Burik, ayam jago kebanggaan ayah berkokok dengan lantangnya.  Lain lagi tingkah anjing penjaga gubuk kami. Anjing berwarna putih itu berlari kearah gubuk sambil menyalak . Ia mendekati ayah, mungkin ingin mengucapkan selamat atas kelahiranku.

Kakek Tun adalah ayah dari ibu, beliaulah yang menyambutku pertama kali. Tangan keriput beliau mengusap kulitku. Bibir keringnya berucap,“Cucuku pertamaku laki-laki.” 
Berikutnya, tangan terampil Nenek Cung ( bukan nama korea atau cina ya, asli orang Bali ) membersihkan tubuh mungilku. Nenek Cung adalah istri tertua Kakek Tun, ia ibu kandung dari Ibu. Kemana kakek dan nenekku dari ayah? Mereka ga ada yang datang. Katanya sih, waktu itu ayah lagi marahan sama mereka, ga tau apa penyebabnya.

Di halaman rumah, tepatnya dua meter dari teras dapur ayah terlihat sibuk mengayun cangkul. Keringat sedikit menitik dipelipis, dinginya angin malam menuju pagi tak ia rasakan.  Ia ayah sedang membuat lubang tempat menanam ari-ari. Setelah lubang cukup dalam, ayah mengambil buah kelapa tua. “Plaaak!” Kelapa itu dibelah jadi dua bagian. Ari-ari/pasenta, darah, air ketuban yang membalut tubuhku saat aku dilahirkan dimasukan kebuah kelapa tersebut. Itu sebagai ungkapan terima kasih karena mereka ( ari-ari, dll )  telah menjaga si bayi saat dalam kandungan. Mereka juga diyakini sebagai saudara yang akan menjaga si bayi sampai umur tertentu.
 
“Kamu sudah menyiapkan nama untuk anakmu?” Suara Kakek Tun memecah kesunyian.
“Sementara namanya Wayan  saja.” Ayah menjawab sambil berjongkok didepan lubang untuk memasukan kelapa yang sudah berisi ari-ari. Ya, Wayan adalah nama untuk anak tertua bagi orang Bali.  Saat kelapa dimasukan kelobang, katanya harus menyebutkan nama si bayi. 
“Sapinya sudah dikasi makan?” Kakek Tun kembali bersuara.
“Belum?” Ayah menjawab sambil memasukan kelapa kedalam lobang. Kemudian ayah berdoa, mungkin doanya tentang harapannya agar aku saat dewasa nanti bisa jadi Gubernur, atau setidaknya Bupati. 
Tentu pembaca bertanya-tanya, saat hikmad seperti itu Kakek Tun nanya tentang sapi. Pertanyaanya ga berbobot gitu. Sekarang aku juga baru tau jawabanya. Katanya, saat menanam ari-ari Si Penanam yang umumnya ayah si bayi harus bersuara agar anaknya tumbuh jadi anak yang pintar ngomong alias tidak gagu. Makanya ada orang yang mengajak berbicara dengan mengeluarkan suatu pertanyaan.

Malam makin menyusut, pagi makin mendekat. Ki Dukun pamit pulang. Sebelum meninggalkan gerbang gubuk kami yang terbuat dari bilahan bambu kuning Ki Dukun membisikan sesuatu pada ayah. Ayah hanya mengangguk sambil berucap terima kasih. Setelah obor penerangan jalan yang dibawa Ki Dukun lenyap diantara pepohonan ayah bergegas kembali dalam rumah.  
Limabelas menit kemudian, api telah mengepul di halaman rumah. Api itu berasal dari perapian kecil yang dibuat ayah. Suara ledakan kecil, disusul jilatan api yang agak tinggi terdengar saat ayah melemparkan sesuatu kedalam api. Entah apa.
**

Rabu, 07 Agustus 2013

IINDONESIAKU

Indonesia …
Tanah Airku
Zamrud khatulistiwa
Tempat mekarnya  kedamaian
Dalam belantara perbedaan

Indonesiaku…
Negeri  beribu pulau
Negeri berjuta harapan
Dilaut birumu
  aku menabur mimpi
Ditanahmu yang subur
    ku tebar cita-cita               

Merah putih
    tetaplah berkibar
Meski badai menerjang
Tak ku biarkan warnamu memudar
    dilindas peradaban
Garudaku terbanglah tinggi
Biar dunia melihat kepak sayapmu yang perkasa
Indonesia
Tumpah darahku


                                                                     : Juli 2012

Jumat, 26 Juli 2013

CHAIRIL ANWAR

hari ini  91 tahun lalu : 26 juli 1922
langit meringkus kepahitanya
bumi menggigil menyambut suara tangismu
angin berlariian mengabarkan keberadaanmu

chairil anwar...

biarkan aku mengunyah matamu
biarkan aku  menguliti badanmu
biarkan aku mencukur rambutmu

Hai binatang jalang !
akan aku cincang diksi keramatmu
akan aku santap bait-baitmu

 karena aku ingin sel di tubuh ini mengalir keliaranmu

 karena aku mau membisikan semangatmu pada telinga penguasa

Chairil Anwar
kau memang akan hidup seribu tahun lagi








Selasa, 21 Mei 2013

BUKIT ANGIN


          Bukit mungil itu berdiri di pinggir Desa Sunyi. Di punggungnya ilalang tumbuh dengan subur. Pohon besar yang tumbuh disana tak sampai 20 batang. Belasan pohon jambu mente tersebar mengelilinggi bukit. Sisanya adalah sepasang nangka dan 3 batang pohon pinang yang tumbuh tepat di puncak bukit. Karena itulah Masyarakat Desa Sunyi menyebut bukit itu dengan nama Bukit Ilalang.
            Bukit ini masih tetap sama seperti tahun-tahun lalu, saat terakhir Aku kesini. Hanya sepasang pohon nangka itu kini sudah tambah besar, ranting-rantingnya melebar menutupi  sebagian permukaan bukit. Tiga batang pohon pinang masih berdiri kokoh dan bertambah tinggi. Yang jauh berbeda adalah pemandangan Desa Sunyi yang mengecil di bawah sana. Dulu, sawah hijau membentang terlihat seperti permadani yang dibentangkan menutupi desa. Saat sore kita dapat melihat barisan petani yang pulang dari sawah berbaur dengan suara ternak yang digiring bocah gembala pulang kekandangnya. Kini sawah-sawah itu telah berganti jadi bangunan. Hanya tersisa beberapa petak yang tersebar disana-sini.
            Panas mentari yang menyengat siang ini terasa memijat kulitku saat angin bergerak pelan, derunya sungguh merdu. Diatas batu besar itu Aku kembali melihat mu, rambut hitam, tangan-tangan mungilmu, dan suara :
             “Kiuuuuuk...kiuuuuuuk,kiuuuuk.....!” Itulah mantra memanggil angin yang sering kita teriakan. Biasanya setelah kita meneriakan itu maka perlahan angin akan datang menyambar baling-baling kayu ditangan kita. Kita melompat, tertawa, dan menikmati nyayian merdu yang tercipta dari baling-baling yang di cium angin. Bukit Angin, itu nama yang kita berikan pada Bukit Ilalang.
            Di bawah pohon nangka ini, kita berteduh sambil memperbaiki baling-baling. Merautnya dengan pisau agar suara yang dihasilkan lebih merdu. Di dahan pohon ini kita biasanya menaruh botol minum. Kamu sering marah kalau minumanmu aku habiskan, sebagai permintaan maaf akan ku petik beberapa bunga ilalang dan ku hadiahkan untukmu. Dan senyum manismu akan mengembang, lalu kamu akan berlari menuruni bukit. Tentu saja Aku akan mengejarmu.
            Kita jatuh bersama...
            Disaat lain kita duduk diatas batu babi, batu yang bentuknya menyerupai kepala babi. Memandang bentangan sawah menghijau di bawah sana, sambil bercerita tentang mimpi masa depan.
            Bukit Angin adalah saksi suka-duka masa kecil kita. Pernah suatu ketika kamu dimarah oleh orang tuamu karena kamu memecahkan pot kesayangan Ayahmu. Ku lihat kamu berlari keluar rumah, ku yakin tujuanmu adalah Bukit Angin. Benar saja, kudapati kamu sedang duduk di batu babi.
            “Ayah lebih sayang pot bunganya dari pada aku.” Katamu kemudian.
            Air mata di pipimu menguap berganti dengan senyum merona saat nada Maskumambang coba aku lantunkan lewat ruas seruling bambuku. Seruling itu adalah hadiahmu saat setahun sebelumnya engkau dan keluarga pulang ke kampung halamanmu.
            Kamu tentu masih ingat, saat kita naik ke kelas empat. Saat itu kamu jadi juara kelas. Besoknya kita berpesta di Bukit Angin. Kita mengajak teman-teman, mereka adalah Alun, Agung, Siti, dan Bento. Membuat api unggun, lalu membakar beberapa buah singkong yang ku ambil di kebun Ayah. Setelah makan singkong bakar itu kita bernyanyi dan tertawa bersama. Tepuk tanggan kita menggema di lereng bukit mengiringi bait puisi yang kau baca.
            Gadis manisku. Ketahuilah, tiap 15 Maret aku selalu datang menunggumu di bukit ini. Aku ingin memenuhi janji yang pernah kita ucapkan.
            Ketika itu adalah ulang tahunmu yang ke-12. Sore itu aku menemukan sederet beban di senyumu.
            “Besok aku akan pergi, Ayahku di pindah tugaskan ke daerah lain“ Itulah kata yang terlahir dari bibirmu saat itu.
            Di bawah pohon nangka ini kita berpegangan tangan. Kukalungkan rangkaian kalung berbahan butiran biji lantoro, itu adalah hadiah untukmu, yang telah seminggu aku persiapkan. Kuhapus butir air yang meleleh di pipimu. Kita berdiri, tanganmu ku genggam erat.
            “Kiuuuuukkkk...kiuuuuuk...kiuuuuk...!“ Kita berteriak memanggil angin.
            Dalam baluran angin sepoi itu kau berjanji, “Saat ulang tahunku nanti aku akan datang kesini. Kita akan memanggil angin lagi“
            “Ya, aku akan menunggu disini “
            Saat itu senja datang membawa aura yang tak bisa kita ungkap dengan kata-kata. Hanya lewat nada dari serulingku ku saampaikan harapan. Dan saat pelan senja menutup layarnya kitapun menuruni bukit. Di kaki bukit, kita bersama menatap puncak Bukit Angin. Engkau berteriak, “Selamat tinggal Bukit Angin, aku pasti akan datang kembali!”
            Esoknya, ku antar langkah kakimu dengan lambaian tangan. Saat gerobak yang ditarik seekor sapi berwarna hitam itu bergerak pelan menyusuri jalanan desa. Wajahmu semakin lama semakin mengecil dan lenyap bersama debu jalanan yang membumbung.
            Janji itu sudah lama kita ucapkan, 15 Maret telah datang dan pergi berkali-kali. Namun sampai hari ini kamu tidak pernah muncul. Aku hanya bertemu dengan gema suara kecilmu, yang berlari bersama angin yang menyisir ilalang di punggung bukit.
***
            Perlahan Aku rebahkan badanku diatas batu babi. Kutatap  langit yang maha luas. Saat Aku buka mata terasa ada yang berbeda pada diriku. Kudapati rambutku memutih dan kulit ditangan ini keriput.
            “Kakek, pulanglah ada yang menunggu di rumah!” Sesosok anak  kecil berdiri didepanku.
            “Siapa?”
            “Aku tak tahu, pulang saja.” Bocah itu telah berlari menuruni Bukit Angin.
            Sampai di rumah ku lihat sosok pria tegap dengan kulit legam, dan rambut memutih. Itu adalah sosok yang sangat aku kenal.
            “Alun, kenapa mencariku?” Alun hanya tertawa kecil sambil menggangkat botol digenggamanya.
            Malam itu aku dan Alun larut dalam canda dan tawa. Bersama buih dan aroma tuak kami mengupas masa lalu, menyusuri kembali jalan-jalan setapak, ruang-ruang berdebu di kelas, pematang sawah, dan semua hal yang tumbuh dalam dunia masa kecil kami.
            “Lintang, apakah kamu ingat Laras teman kita?” Kata-kata Alun langsung mengunciku. Aku hanya menggangguk.
            “Minggu lalu aku bertemu dengan Siti di Kota Kabupaten, Aku sempat tanyakan tentang Laras.”
            “Terus, bagaimana?” Aku jadi penasaran dengan keterangan Alun.
            “Siti pernah bertemu Laras saat mereka kelas 1 SMA.”
            Kelas satu SMA, itu sudah lama. Pelan ku angkat lagi gelas tuak didepanku. Satu teguk saja gelas tersebut telah kosong.
             “Kakek, sudah cukup minumnya.” Sebuah suara mengejutkan kami. Hasan, cucu Alun berdiri didepan kami.
           “Kamu ini mengganggu kakek saja. Dari mana kamu ?” Alun menatap cucunya.
            Hasan duduk disebelah Alun. “Saya dari rumah Kepala Desa.”
            “Ada masalah apa malam-malam begini?” Aku jadi merasa penasaran.
            “Begini kek, tadi pertemuan di rumah Pak Kepala Desa membicarakan mengenai rencana penjualan Bukit Ilalang”
            “Apa? Bukit Ilalang akan dijual? Aku terkejut mendengar kata-kata Hasan. Ku lihat muka Alun juga menunjukan ekspresi keterkejutan yang sama dengan yang aku rasakan.
              “Anak muda, apa yang kalian pikirkan? Aku tidak terima kalau bukit itu akan dijual!” Aku marah, benci, tidak terima dengan pemikiran mereka. Alasan apa yang menyebabkan bukit itu mesti dijual? Kalau dijual, uangnya untuk apa?
            “Tenang dulu kek, memang ada investor yang mau menawar Bukit Ilalang tetapi itu belum menjadi keputusan warga desa. Besok sore hal itu akan dibahas saat musyawarah desa, tadi itu rapat kecil yang dihadiri  beberapa tokoh masyarakat.”
            “Bukit Ilalang mau dibuat apa oleh orang-orang itu?” Alun kebali bertanya pada cucunya.
            “Katanya mereka mau membangun rumah peristirahatan.”
            Pokoknya Aku tidak terima kalau Bukit Ilalang dijual. Aku tak ingin Bukit Angin menjadi milik orang asing.
            “Mau keman kamu Lintang?” Alun berteriak memanggilku.
            Aku berjalan, ku ikuti langkah sosok gadis kecil yang berlalu kian menjauh. Dia berlari, berlari kearah Bukit Angin.
***
            Saat ku buka mata, ada warna putih yang membayang. Ternyata aku berada di sebuah kamar yang asing, ini bukan kamar di gubukku.
            “Selamat Pagi Kek!” Gadis manis berpakaian putih berdiri di depanku.
            “Sekarang kakek sarapan ya.” Gadis itu duduk lalu menyuapi mulutku. Makanan itu coba aku kunyah.
            “Dimana ini?”
            “Ini rumah sakit kek.”            
            Saat Aku sedang menginggat kenapa Aku bisa berada di tempat ini, Mata ini tertuju pada televisi yang sedang menyiarkan berita.
            “Dapat kami kabarkan, tadi pagi pukul 05.00 terjadi kecelakaan pesawat helikopter. Pesawat naas itu jatuh pada sebuah bukit di desa kecil yang bernama Desa Sunyi. Belum diketahui penyebab pasti jatuhnya pesawat tersebut, namun dugaan sementara pesawat jatuh karena cuaca buruk berupa angin kencang yang menerpa  badan pesawat.”
            “Tim SAR telah menemukan dua orang korban yaitu pilot pesawat dan seorang perempuan usia sekitar 50  tahun.”
***
            Setelah seminggu istirahat di rumah sakit akhirnya Aku dapat kembali pulang ke desa. menemui kembali ranjang bambuku yang empuk. Kasur di rumah sakit sungguh menyiksaku.
            Alun datang ke gubuk setelah Aku tiga hari keluar dari rumah sakit. “Kamu sudah sehat?”
            “Lihat saja sendiri, Aku bahkan merasa lebih sehat dari sebelum Aku ke rumah sakit”
            “Kalau begitu ayo kita ke bukit.”
            Aku merasa heran dengan Alun. Tidak biasanya dia mengajak Aku ke Bukit Angin. Biasanya Aku diajak mencari tuak untuk kita minum atau melihat ayam jago yang baru dibelinya.
            “Ada yang ingin bertemu denganmu.” Begitulah kata-kata Alun meyakinkanku.
            Bersama rasa penasaran yang mengelayuti pikiran Aku ikuti langkah Alun menapaki jalan berdebu menuju Bukit Angin. Setengah jam mendaki kami tiba di puncak Bukit Angin. Alun langsung mengajaku ke pohon nangka.
LARAS SAVITRI
Lahir  : 15 Maret 1960
Wafat : 15 Maret 2012
            Aku tertegun menatap nisan didepanku. Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat. Tak terasa air mata menetes membasahi gundukan itu.
            “Saat kamu di rumah sakit, warga desa sepakat menjual Bukit Angin pada investor yang mau membeli. Warga setuju karena dia hanya membeli seluas 5x5 meter persegi dengan harga yang tinggi. Rencananya uang hasil penjualan itu akan digunakan membangun Balai Serbaguna. Tanggal 15 Maret investor itu akan datang ke bukit. Lalu terjadilah kecelakaan itu.” Alun menepuk pundaku saat mengakhiri ceritanya.
            Kini Aku paham, investor yang ingin membeli Bukit Angin adalah dirimu. Dan tempat istirahat yang dimaksud adalah kuburan sederhana ini. Tempatmu beristirahat untuk selamanya. Rupanya kamu ingin menepati janji untuk datang ke Bukit Angin saat hari ulang tahunmu.
“Kiuuuuuk...kiuuuuuuk...kiuuuukk!” Sayup telingaku menangkap suara itu, suara yang amat ku kenal.
***

Denpasar, 9 September 2012

Senin, 29 April 2013

1966


IBU :
“ Ibu masih bayi saat itu, paling cuma bisa menangis. Kata kakekmu, saat itu, ibu dibawa oleh kakek dan nenekmu mengungsi ke kebun kami yang ada di timur desa. Kita, bersembunyi dibawah pohon randu besar yang tumbuh disana. Akar randu itu membentuk lorong seperti gua kecil, disitu kami tidur seharian tanpa berani keluar. Untungnya ibu tidak  menangis.”

AYAH :
Itu adalah sore terburuk dalam hidup ayah. Sore yang mencekam dan menakutkan. 
Saat itu usia ayah 7 tahun. Ayah masih sibuk mengusir kawanan pipit yang datang mencari makan siangnya di sawah kita. Kadang ayah harus berlari dipematang sambil memukul kentongan kecil agar burung-burung itu segera lari. Atau melempar batu kearah kawanan burung yang tetap bandel memakan bulir-bulir padi. Saat itulah terdengar teriakan dari teman ayah. Dia menunjuk barisan ratusan orang yang berjalan kearah desa. Mereka berjalan menyusuri jalan sambil berteriak-teriak. Kami yakin itu bukan warga kampung, mereka entah dari mana. Tangan mereka memegang benda-benda tajam.

“Ayo kita pergi mereka akan menyerang kampung kita!” Tiba-tiba Paman dari teman ayah datang.

Kami bertiga berlari kearah barat, menjauh dari jalan tempat orang-orang itu. Kami menaiki bukit kecil yang ada disitu. Dari ketinggian itu ayah lihat mereka menuju kearah 2 rumah yang ada dekat jalan. Tak berapa lama kami mendengar teriakan dan tangisan. Beberapa orang terlihat berlari. Rupanya mereka mengejar pemilik rumah yang mencoba kabur. Ayah sangat takut, badan gemetar melihat orang-orang itu memburu manusia lain seperti akan menangkap anjing gila.  Tak berapa lama asap mengepul. Mereka membakar rumah tersebut.



NENEK :
Nenek tidak akan pernah lupa kejadian sore itu. Saat itu nenek baru saja selesai menidurkan bibimu. Memang hari itu badan bibimu agak panas, ia rewel terus. Karena itulah nenek tidak ikut keladang. Baru saja nenek mengambil pisau untuk  memotong daun talas yang akan digunakan sebagai makanan babi terdengar suara teriakan laki-laki.

“Mereka datang!”  Suara itu terdengar panik.

“Siapa yang datang?” Nenek berdiri dan melangkah kearah lelaki itu.

Nafas lelaki itu memburu, matanya berputar-putar, dia menjawab. “Mereka banyak sekali, semua membawa senjata.”

Saat nenek masih diselimuti kebinggungan terdengar suara ledakan. Disusul dengan suara teriakan dimana-mana.

“Ayo lari, mereka mulai membakar rumah! Suara itu terdengar entah siapa. Yang jelas terdengar suara orang berlarian, suara teriakan pria, wanita, tangisan anak-anak, dan suara kentongan yang dipukul tanpa putus. Setahu nenek itu artinya ada bahaya.

Nenek mulai takut. Asap  terlihat hitam mengangkasa. Bersama rasa cemas yang mulai menyerang, nenek menggendong bibimu, mengambil beberapa pakaian dan barang yang bisa nenek bawa. Tangan ini gemetar, hanya nama Tuhan yang bisa nenek ucapkan saat itu.
Setelah menutup pintu rumah nenek bergegas melangkah. Nenek ingin pergi menemui kakekmu diladang tempat itu lumayan jauh dari desa pasti aman. Beberapa saat berjalan nenek arahkan pandangan kearah rumah. Asap terlihat menyelimuti desa, beberapa rumah tetangga mulai terlihat dilalap api.

“Tuhan lindungi hambamu.” Nenek berlari sekencangnya. Bibimu nenek dekap dengan erat. Nenek ingin cepat berkumpul dengan suami dan semua anak nenek.
**

KAKEK :
Sore itu kakek sedang membajak tegalan ini. Sudah cukup lama kakek mengayunkan cambuk menghiasi pantat sapi-sapi yang mulai letih, saat kakek mendengar teriakan pamanmu kakek langsung menarik kuat tali sapi untuk menghentikan langkah mereka. Ia menunjuki satu titik.

Asap hitam membumbung tinggi. Kakek berlari kearah pohon nangka itu, dan naik ke pohon tersebut. Dari atas pohon nangka kakek melihat kampung kita diselimuti asap, dan api berkobar tinggi. Kakek terkejut melihat kenyataan itu, kebakaran yang begitu besar.  Sambil turun kakek memanggil paman.

“Cepat panggil adikmu, mereka telah datang!”

Pamanmu berlari kearah sungai kecil yang ada disana itu, ia akan menemui adiknya. Memang saat itu bibimu itu sedang menjemur cacah (singkong yang telah diparut/dipotong kecil) dibebatuan kali yang lebar. Kakek sendiri berlari kearah sapi yang masih kelelahan menahan bajak dipundaknya. Dengan tergesa kakek melepaskan bajak tersebut lalu mengiring sapi ke kandangnya. Tak ada waktu untuk memberi sapi-sapi itu minum atau mencarikan daun lantoro untuk makanan.

Kakek berlari kearah gubuk dan mengambil gandil (tas terbuat dari daun lontar). Saat itulah paman dan bibimu datang, nafas mereka memburu, muka mereka pucat, darah seperti telah hilang dari badan mereka. Usia pamanmu 13 tahun dan bibimu 11 tahun saat itu, pantas saja mereka sangat ketakutan mendengar suara ledakan yang berasal dari tiang-tiang bambu yang terbakar. Kakek meninggalkan mereka berdua di dalam gubuk.

“Diam disini, jangan keluar sebelum Ayah datang.” Begitu pesan kakek.

Berikutanya kakek berlari sekencang-kencangnya kearah kampung. Di jalan banyak orang yang berlarian, orang tua maupu anak kecil. Mereka semua dicekam ketakutan. Agar lebih cepat kakek menempuh jalan pintas yaitu menyusuri sungai kering yang ada di tengah desa.

Di pinggiran desa kakek sempat bertemu dengan sepupu kakek. Dia bersama istri dan dua anaknya akan mengungsi ke bukit.

“Sebaiknya kamu jangan pulang, ayo mengungsi orang-orang itu telah membakar rumah pengikut PKI dan menangkap mereka.” Begitu dia berucap diantara nafasnya yang memburu.

Kakek tidak menggubris pesan itu, nenek dan bibimu ada di rumah. Walau kakek bukan anggota PKI tetapi kakek tetap mengkhawatirkan keselamatan mereka. Sampai di desa, suasana saangat mencekam. Asap dan api membumbung dari rumah yang terbakar, suara teriakan dan tangisan berbaur dengan derak kayu yang dilahap api. Wajah-wajah garang dari orang-orang yang entah dari mana datangnya terlihat memenuhi jalana. Mereka menganjungkan senjata, ada pedang, linggis, tombak, keris, dan ada membawa pentungan. Warga yang menjadi anggota PKI ditangkap lalu rumahnya dibakar. Kakek sempat melihat mereka membawa salah satu warga, anak dan istrinya menangis, memohon agar ayah dan suaminya dilepaskan. Anak itu tiba-tiba tersungkur dengan tangan terpisah dari badanya. Salah satu dari mereka menyeka darah yang menetes di pedang dengan  menggunakan jemarinya, lalu jemari itu dimasukan kemulutnya.

Kakek tak tahu harus marah atau tidak, kalau marah pada siapa? Pada mereka yang datang memburu anggota PKI, lalu membakar rumah-rumah anggota PKI tersebut, akibatnya hampir seluruh kampung ikut terbakar, atau pada anggota PKI itu. Kakek hanya bisa menatap api yang melahap rumah dengan rakusanya. Kakek berjalan meninggalkan rumah yang telah lebih 20 tahun kakek diami. Kini semua kenangan menguap bersama asap dan berserakan jadi abu. Lalu kakek berlari sekencangnya, berharap istri dan anak-anak  terhindar dari pemusnahan yang terjadi.
***

14 Maret, 2013

Kamis, 25 April 2013

PENJAGA KERIS

Ini adalah revisi dari cerpen KERIS.

Aku hanya menunduk tak sanggup menatap dua orang didepanku. Ribuan kata bernada nasehat, rayuan, bahkan bernada ancaman keluar dari mulut mereka. Aku tatap bibir hitam mereka yang menari-nari.
“Kau mengerti anaku?” Ayah berkata sambil menepuk pundaku.
“Paman harap kamu bersedia mengemban tugas mulia ini”. Suara paman mencoba meyakinkanku.
“Ayah, Paman, biarkan saya berpikir dulu.” Aku mengakhiri diamku yang hampir satu jam mendengar persentasi mereka.
“Pikirkanlah dengan baik, ini demi dirimu dan juga keluarga kita. Ayah harap kamu mengambil keputusan yang bijaksana”. Itu pesan ayah sebelum motor matik hitam yang mereka naiki meninggalkan halaman kosku. Mereka, ayah dan paman datang menemuiku ke kos membawa amanat dari keluarga besar kami di kampung. Amanat itu adalah tentang harapan mereka agar aku bersedia menjadi penjaga keris pusaka peninggalan leluhur kami. Mereka bilang aku adalah orang yang terpilih menjalankan tugas itu. Jika aku menolak akan ada bencana yang menimpa keluarga kami.
Tiga hari kemudian, melalui telepon aku sampaikan pada ayah, bahwa aku tidak mau menjadi penjaga keris. Kuliahku memasuki semester akhir jadi aku fokus menyelesaikan tugas-tugas kuliah, tak ada waktu untuk hal lain. Itu alasan yang kusampiakan. Padahal alasan sebenarnya karena pikira ilmiahku menolak mempercayai hal yang mistis seperti itu.
**
1 Pesan Diterima !
Dari : AdikQ..
“Kakak, Intan anaknya Om Ketut sakit keras,
 sekarang di rawat di rumah sakit
Mungkin ini bencana karena kakak ga mau jdi penjaga keris..
Beberapa detik kutatap sms dari adiku. Apa mungkin seperti itu, ah tidak. Itu hanya kebetulan saja Intan sakit, dari kecil memang dia sering sakit. Apa mungkin hal itu benar? Malam itu aku gelisah. Sepanjang malam aku mimpi aneh. Dalam mimpiku aku didatangi seorang pria berpakaian adat Bali, tangan kanannya memegang bungkusan kain kuning. Dari bentuknya benda yang dipegang lelaki itu adalah keris.

Besoknya adiku sms lagi.
1 Pesan diterima !
Dari : AdikQ…
Baru saja Paman di Palu nlpn. katanya anaknya diceraikan oleh suaminya tanpa alasan yang jelas. kakak,,,cobalah berpikir lagi, jagan biarkan keluarga kita terus dilanda bencana.

“Ahh..persetan,masalah orang cerai masak aku yang bersalah.”

 “ Tapi…Ia ini salahmu, terima saja tugasmu!” Begitulah perang batinku

Hari-hariku berikutnya terus dihantui keris. Tiap malam aku mimpi dikejar  keris. Itu hanya mimpi, mungkin aku terlalu memikirkan keris itu, begitu pikirku. Kabar yang aku terima dari keluarga terus tentang bencana. Ternaknya mati, kebun karetnya kebakaran, Toko di bobol maling dan sanak keluarga sedang sakit.

Tapi aku yakin semua takdir mereka, bukan karena aku tidak mau menjadi  penjaga keris. Mana mungkin leluhur memberatkan keturunanya. Kalaupun benar begitu berarti leluhur itu tidak bijaksana, melimpahkan tugas atau kesalahan pada kami yang masih hidup. Dibenaku mulai ditumbuhi hal negatif tentang leluhurku.

Pagi itu, jam ditanganku menunjukan pukul 07.50.
Tatapanku tertuju pada spanduk yang terpasang di depan gerbang bangunan “ Selamat Datang Peserta Seminar, Mengenal Lebih Dekat Keris Bali” Aku ragu melangkah, bodoh banget aku ini. Saat Roy meminta aku menggantikanya mengikuti seminar aku langsung mengiakan. ”Kamu gantikan aku, nanti Gus De dan Ayu menunggu disana. Teman-teman HMJ lain pada sibuk” Begitu ocehan Roy. Sialnya aku tidak konfirmasi tentang materi seminar itu. Ia sudahlah, tak ada salahnya aku ikut saja.

Pukul 08.35
…” keris adalah simbol laki-laki bagi orang Bali. Zaman dulu keris dapat menunjukan tinggi rendahnya status  seorang …” Saat pembicara sedang membicarakan filosofi  keris tiba-tiba hpku berbunyi. Itu dari adiku.

“Ada apa? aku sedang mengikuti seminar..”

“ Aku dengan ayah  lagi on the way ke kos  kakak“

“ Ada apa lagi ? “

“ Ada hal penting yang mau mereka sampaikan.”

“ Ok, setengah jam lagi aku balik” Kututup telepon dengan rasa gundah.

Di depan ku lihat pembicara sedang menunjukan sebilah keris, memperkenalkan bagian-bagianya pada peserta seminar. Entah dari mana datangnya tiba-tiba aku merasa merinding dan ngeri melihat keris yang di pegang oleh Bapak itu. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak melanjutkan mengikuti acara itu. Pada kedua temanku aku pamitan ku bilang dengan jujur bahwa orang tuaku akan datang ke kos jadi aku harus balik sekarang juga. Mereka mengerti dan mempersilahkanku untuk berangkat.

Kenapa keluargaku tiba-tiba datang mencariku? Sudah lebih tiga tahun aku kuliah tak sekalipun orangtuaku datang ke tempat kos. Yang pernah ke kosku cuma adik, itupun sudah setahun lalu. Saat itu dia mewakili sekolahnya mengikuti sebuah lomba di kota tempat kuliahku, sebelum pulang ia sempatkan mampir ketempatku.

Tiiiiittttt !!!!!

Aku tersentak, sebuah benda besar tiba-tiba bergerak cepat kearahku. Pikiranku terlambat  menganalisa. Saat aku sadar benda apa itu  tubuhku  sudah terlambat bereaksi.
**
Ku sadari diriku sedang berada di sebuah tempat yang menyerupai bioskop. Di depankua terbentang sebuah layar. Dilayar itu kulihat dua orang pria gagah, mereka dikelilingi oleh banyak orang. Dua peremuan sambil mengendong anak kecil nampak sedih. Sepertinya dua orang itu adalah istri dari pria-pria itu. Orang-orang itu berteriak dengan mengangkat tangan tinggi keudara, sepertinya mereka memberi semangat pada dua pria gagah itu. Teriakan terus menggema saat kedua pria itu berjalan, keduanya melangkah menyusuri jalan setapak. Saat itulah aku sadar bahwa salah satu dari pria itu mirip dengan Ayahku atau bahkan mirip denganku.

Adegan berikutnya…

Beberapa perahu layar terlihat bergerak pelan dilautan. Kedua pria gagah terihat duduk diperahu dengan layar berwarna kotak-kota merah, hitam, dan putih. Di depan mereka berdiri seorang pria dengan pakaian seperti seorang raja.

Pria itu berkata “Depih, aku dengar kamu memiliki pasukan  berupa wong samar” (mahluk halus).

Pria yang mirip denganku menjawab, “Ya Gusti Patih, saat ini hamba membawa 2000 pasukan wong samar, tuan bisa rasakan gerak perahu-perahu kita. Keempat perahu ini bergerak lamban karena memuat 2000 pasukan wong samar itu.

“ Bagus! Aku harap kita bisa pulang dengan kemenangan tanpa ada pasukan kita yang gugur”

Bersama malam yang mulai datang, perahu yang mengangkut pasukan itu merapat di pantai. Hujan bersama guntur dan kilat menyambut kedatangan mereka. Pria yang dipanggil sebagai gusti patih terlihat berdiri dan mencabut keris di pinggangnya, diancungkanya keris itu keangkasa. Sebuah kilat menyambar keris tersebut beberapa saat kemudian  langit disekitar mereka menjadi cerah, hujan, guntur dan kilat hilang entah kemana.

“Depih,saatnya  kamu keluarkan pasukan wong samarmu!“

Depih begitulah orang yang mirip denganku dipanggil. Pria itu segera mengeluarkan keris kecil dari pingganya. Sementara anggota pasukan yang lain tampak duduk rapi. Salah satu diantara mereka berdiri dan mendekati Depih, dia terlihat memegang seekor ayam hitam.

Leher ayam itu putus di babat oleh keris ditangan I Depih. Mulut pria itu komat-kamit membaca mantra. Tiba-tiba  angin berhembus kencang, suara derap seperti ribuan kuda berlari terdengar menggema. Angin dan suara itu makin menjauh bergerak kearah daratan.

“TIDAK…!” Aku berteriak kaget kulihat keris ditangan I Depih bertambah panjang dan ujungnya bergerak kearahku, aku berlari keluar bioskop. Keris itu terus bertambah panjang dan mengejarku.

“ Tidak, Jangan!”

“Keris, keris, jangan!” Aku berteriak dan terus berlari, tiba-tiba aku melihat kedua orang tuaku. Sekuat tenaga aku berlari kearah mereka.

“Dokter, dia bergerak, dia siuman!“ Kudengar sayup suara.

**
Ku arahkan pandanganku, selang-selang infus menghiasi tubuhku. Kaki kananku dibalut perban. Senyum manis Andin adiku dan tatapan cemas Ayahku langsung terpampang dihadapanku.

“Aku kenapa? “  Hanya itu yang keluar dari mulutku.
Dari cerita Ayah dan adik aku tahu, bahwa aku mengalami kecelakaan. Bertabrakan dengan mobil saat aku kembali dari tempat seminar. Aku mengalami luka yang parah, sudah 3 hari aku koma.

Besoknya aku ceritakan mimpiku pada Ayah. Ayah bilang orang dalam mimpi adalah I Depih leluhur kami yang pemiliki keris pusaka. Memang menurut cerita dia ikut berberang dan pulang membawa kemenangan. Saat pulang itu beliau membawa beberapa keris dan benda berharga lain, itu adalah bukti kemenangan yang diraih di medan perang.
**

Didepanku tergolek 3 buah keris. Satu persatu ku pegang benda tersebut. Aku memutuskan mau menerima tugas menjaga keris peninggalan leluhurku. Aku sadar keris ini memiliki nilai sejarah khususnya bagi keluargaku, jadi selayaknya aku ikut menjaga benda itu. Itu simbol prestasi yang diraih leluhurku. Mungkin zaman itu prestasi seseorang diukur dari tingginya ilmu kesaktian yang dimiliki beda dengan sekarang. Pada zamanya leluhurku telah dipilih oleh kerajaan untuk ikut misi penting. Kalau mau jujur aku belum ada apa-apanya, aku belum punya prestasi yang membanggakan keluarga. Aku telah salah meremehkan dan memandang negatif pada leluhur.

Jadilah aku penjaga keris pusaka. Setiap 15 hari sekali keris itu mesti dibersihkan. Ya masuk akal juga, biar keris tersebut tidak berkarat. Keris itu dibuatkan tempat khusus dirumahku dan tidak perlu membawa keris itu kemanapun aku pergi. Dulu salah satu alasanku menolak adalah karena aku kira benda itu harus  dibawa kemana-mana. Dan kuliahku berjalan dengan wajar tidak terganggu oleh keris. Bahkan keris menjadi inspirasiku untuk meraih prestasi.

Sepeti pamor  sebilah keris, begitulah jalan hidup manusia.