Bukit mungil itu berdiri di pinggir
Desa Sunyi. Di punggungnya ilalang tumbuh dengan subur. Pohon besar yang tumbuh
disana tak sampai 20 batang. Belasan pohon jambu mente tersebar mengelilinggi
bukit. Sisanya adalah sepasang nangka dan 3 batang pohon pinang yang tumbuh
tepat di puncak bukit. Karena itulah Masyarakat Desa Sunyi menyebut bukit itu
dengan nama Bukit Ilalang.
Bukit
ini masih tetap sama seperti tahun-tahun lalu, saat terakhir Aku kesini. Hanya
sepasang pohon nangka itu kini sudah tambah besar, ranting-rantingnya melebar
menutupi sebagian permukaan bukit. Tiga
batang pohon pinang masih berdiri kokoh dan bertambah tinggi. Yang jauh berbeda
adalah pemandangan Desa Sunyi yang mengecil di bawah sana. Dulu, sawah hijau
membentang terlihat seperti permadani yang dibentangkan menutupi desa. Saat
sore kita dapat melihat barisan petani yang pulang dari sawah berbaur dengan
suara ternak yang digiring bocah gembala pulang kekandangnya. Kini sawah-sawah
itu telah berganti jadi bangunan. Hanya tersisa beberapa petak yang tersebar
disana-sini.
Panas
mentari yang menyengat siang ini terasa memijat kulitku saat angin bergerak
pelan, derunya sungguh merdu. Diatas batu besar itu Aku kembali melihat mu,
rambut hitam, tangan-tangan mungilmu, dan suara :
“Kiuuuuuk...kiuuuuuuk,kiuuuuk.....!” Itulah
mantra memanggil angin yang sering kita teriakan. Biasanya setelah kita
meneriakan itu maka perlahan angin akan datang menyambar baling-baling kayu
ditangan kita. Kita melompat, tertawa, dan menikmati nyayian merdu yang
tercipta dari baling-baling yang di cium angin. Bukit Angin, itu nama yang kita
berikan pada Bukit Ilalang.
Di
bawah pohon nangka ini, kita berteduh sambil memperbaiki baling-baling. Merautnya
dengan pisau agar suara yang dihasilkan lebih merdu. Di dahan pohon ini kita
biasanya menaruh botol minum. Kamu sering marah kalau minumanmu aku habiskan, sebagai
permintaan maaf akan ku petik beberapa bunga ilalang dan ku hadiahkan untukmu.
Dan senyum manismu akan mengembang, lalu kamu akan berlari menuruni bukit. Tentu
saja Aku akan mengejarmu.
Kita
jatuh bersama...
Disaat
lain kita duduk diatas batu babi, batu yang bentuknya menyerupai kepala babi. Memandang
bentangan sawah menghijau di bawah sana, sambil bercerita tentang mimpi masa
depan.
Bukit
Angin adalah saksi suka-duka masa kecil kita. Pernah suatu ketika kamu dimarah
oleh orang tuamu karena kamu memecahkan pot kesayangan Ayahmu. Ku lihat kamu
berlari keluar rumah, ku yakin tujuanmu adalah Bukit Angin. Benar saja,
kudapati kamu sedang duduk di batu babi.
“Ayah
lebih sayang pot bunganya dari pada aku.” Katamu kemudian.
Air
mata di pipimu menguap berganti dengan senyum merona saat nada Maskumambang coba aku lantunkan lewat
ruas seruling bambuku. Seruling itu adalah hadiahmu saat setahun sebelumnya
engkau dan keluarga pulang ke kampung halamanmu.
Kamu
tentu masih ingat, saat kita naik ke kelas empat. Saat itu kamu jadi juara
kelas. Besoknya kita berpesta di Bukit Angin. Kita mengajak teman-teman, mereka
adalah Alun, Agung, Siti, dan Bento. Membuat api unggun, lalu membakar beberapa
buah singkong yang ku ambil di kebun Ayah. Setelah makan singkong bakar itu
kita bernyanyi dan tertawa bersama. Tepuk tanggan kita menggema di lereng bukit
mengiringi bait puisi yang kau baca.
Gadis
manisku. Ketahuilah, tiap 15 Maret aku selalu datang menunggumu di bukit ini.
Aku ingin memenuhi janji yang pernah kita ucapkan.
Ketika
itu adalah ulang tahunmu yang ke-12. Sore itu aku menemukan sederet beban di
senyumu.
“Besok
aku akan pergi, Ayahku di pindah tugaskan ke daerah lain“ Itulah kata yang
terlahir dari bibirmu saat itu.
Di
bawah pohon nangka ini kita berpegangan tangan. Kukalungkan rangkaian kalung berbahan
butiran biji lantoro, itu adalah hadiah untukmu, yang telah seminggu aku persiapkan.
Kuhapus butir air yang meleleh di pipimu. Kita berdiri, tanganmu ku genggam
erat.
“Kiuuuuukkkk...kiuuuuuk...kiuuuuk...!“
Kita berteriak memanggil angin.
Dalam
baluran angin sepoi itu kau berjanji, “Saat ulang tahunku nanti aku akan datang
kesini. Kita akan memanggil angin lagi“
“Ya,
aku akan menunggu disini “
Saat
itu senja datang membawa aura yang tak bisa kita ungkap dengan kata-kata. Hanya
lewat nada dari serulingku ku saampaikan harapan. Dan saat pelan senja menutup
layarnya kitapun menuruni bukit. Di kaki bukit, kita bersama menatap puncak
Bukit Angin. Engkau berteriak, “Selamat tinggal Bukit Angin, aku pasti akan
datang kembali!”
Esoknya,
ku antar langkah kakimu dengan lambaian tangan. Saat gerobak yang ditarik
seekor sapi berwarna hitam itu bergerak pelan menyusuri jalanan desa. Wajahmu
semakin lama semakin mengecil dan lenyap bersama debu jalanan yang membumbung.
Janji
itu sudah lama kita ucapkan, 15 Maret telah datang dan pergi berkali-kali. Namun
sampai hari ini kamu tidak pernah muncul. Aku hanya bertemu dengan gema suara
kecilmu, yang berlari bersama angin yang menyisir ilalang di punggung bukit.
***
Perlahan
Aku rebahkan badanku diatas batu babi. Kutatap langit yang maha luas. Saat Aku buka mata terasa
ada yang berbeda pada diriku. Kudapati rambutku memutih dan kulit ditangan ini
keriput.
“Kakek,
pulanglah ada yang menunggu di rumah!” Sesosok anak kecil berdiri didepanku.
“Siapa?”
“Aku
tak tahu, pulang saja.” Bocah itu telah berlari menuruni Bukit Angin.
Sampai
di rumah ku lihat sosok pria tegap dengan kulit legam, dan rambut memutih. Itu
adalah sosok yang sangat aku kenal.
“Alun,
kenapa mencariku?” Alun hanya tertawa kecil sambil menggangkat botol
digenggamanya.
Malam
itu aku dan Alun larut dalam canda dan tawa. Bersama buih dan aroma tuak kami mengupas
masa lalu, menyusuri kembali jalan-jalan setapak, ruang-ruang berdebu di kelas,
pematang sawah, dan semua hal yang tumbuh dalam dunia masa kecil kami.
“Lintang,
apakah kamu ingat Laras teman kita?” Kata-kata Alun langsung mengunciku. Aku
hanya menggangguk.
“Minggu
lalu aku bertemu dengan Siti di Kota Kabupaten, Aku sempat tanyakan tentang
Laras.”
“Terus,
bagaimana?” Aku jadi penasaran dengan keterangan Alun.
“Siti
pernah bertemu Laras saat mereka kelas 1 SMA.”
Kelas
satu SMA, itu sudah lama. Pelan ku angkat lagi gelas tuak didepanku. Satu teguk
saja gelas tersebut telah kosong.
“Kakek, sudah cukup minumnya.” Sebuah suara
mengejutkan kami. Hasan, cucu Alun berdiri didepan kami.
“Kamu
ini mengganggu kakek saja. Dari mana kamu ?” Alun menatap cucunya.
Hasan
duduk disebelah Alun. “Saya dari rumah Kepala Desa.”
“Ada
masalah apa malam-malam begini?” Aku jadi merasa penasaran.
“Begini
kek, tadi pertemuan di rumah Pak Kepala Desa membicarakan mengenai rencana
penjualan Bukit Ilalang”
“Apa?
Bukit Ilalang akan dijual? Aku terkejut mendengar kata-kata Hasan. Ku lihat
muka Alun juga menunjukan ekspresi keterkejutan yang sama dengan yang aku
rasakan.
“Anak
muda, apa yang kalian pikirkan? Aku tidak terima kalau bukit itu akan dijual!”
Aku marah, benci, tidak terima dengan pemikiran mereka. Alasan apa yang
menyebabkan bukit itu mesti dijual? Kalau dijual, uangnya untuk apa?
“Tenang
dulu kek, memang ada investor yang mau menawar Bukit Ilalang tetapi itu belum
menjadi keputusan warga desa. Besok sore hal itu akan dibahas saat musyawarah
desa, tadi itu rapat kecil yang dihadiri
beberapa tokoh masyarakat.”
“Bukit
Ilalang mau dibuat apa oleh orang-orang itu?” Alun kebali bertanya pada cucunya.
“Katanya
mereka mau membangun rumah peristirahatan.”
Pokoknya
Aku tidak terima kalau Bukit Ilalang dijual. Aku tak ingin Bukit Angin menjadi
milik orang asing.
“Mau
keman kamu Lintang?” Alun berteriak memanggilku.
Aku
berjalan, ku ikuti langkah sosok gadis kecil yang berlalu kian menjauh. Dia
berlari, berlari kearah Bukit Angin.
***
Saat
ku buka mata, ada warna putih yang membayang. Ternyata aku berada di sebuah
kamar yang asing, ini bukan kamar di gubukku.
“Selamat
Pagi Kek!” Gadis manis berpakaian putih berdiri di depanku.
“Sekarang
kakek sarapan ya.” Gadis itu duduk lalu menyuapi mulutku. Makanan itu coba aku
kunyah.
“Dimana
ini?”
“Ini
rumah sakit kek.”
Saat
Aku sedang menginggat kenapa Aku bisa berada di tempat ini, Mata ini tertuju
pada televisi yang sedang menyiarkan berita.
“Dapat kami kabarkan, tadi pagi pukul 05.00
terjadi kecelakaan pesawat helikopter. Pesawat naas itu jatuh pada sebuah bukit
di desa kecil yang bernama Desa Sunyi. Belum diketahui penyebab pasti jatuhnya
pesawat tersebut, namun dugaan sementara pesawat jatuh karena cuaca buruk berupa
angin kencang yang menerpa badan
pesawat.”
“Tim SAR telah menemukan dua orang korban
yaitu pilot pesawat dan seorang perempuan usia sekitar 50 tahun.”
***
Setelah
seminggu istirahat di rumah sakit akhirnya Aku dapat kembali pulang ke desa.
menemui kembali ranjang bambuku yang empuk. Kasur di rumah sakit sungguh
menyiksaku.
Alun
datang ke gubuk setelah Aku tiga hari keluar dari rumah sakit. “Kamu sudah
sehat?”
“Lihat
saja sendiri, Aku bahkan merasa lebih sehat dari sebelum Aku ke rumah sakit”
“Kalau
begitu ayo kita ke bukit.”
Aku
merasa heran dengan Alun. Tidak biasanya dia mengajak Aku ke Bukit Angin.
Biasanya Aku diajak mencari tuak untuk kita minum atau melihat ayam jago yang
baru dibelinya.
“Ada
yang ingin bertemu denganmu.” Begitulah kata-kata Alun meyakinkanku.
Bersama
rasa penasaran yang mengelayuti pikiran Aku ikuti langkah Alun menapaki jalan
berdebu menuju Bukit Angin. Setengah jam mendaki kami tiba di puncak Bukit
Angin. Alun langsung mengajaku ke pohon nangka.
LARAS
SAVITRI
Lahir : 15 Maret 1960
Wafat
: 15 Maret 2012
Aku tertegun
menatap nisan didepanku. Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat. Tak
terasa air mata menetes membasahi gundukan itu.
“Saat
kamu di rumah sakit, warga desa sepakat menjual Bukit Angin pada investor yang
mau membeli. Warga setuju karena dia hanya membeli seluas 5x5 meter persegi
dengan harga yang tinggi. Rencananya uang hasil penjualan itu akan digunakan
membangun Balai Serbaguna. Tanggal 15 Maret investor itu akan datang ke bukit.
Lalu terjadilah kecelakaan itu.” Alun menepuk pundaku saat mengakhiri
ceritanya.
Kini
Aku paham, investor yang ingin membeli Bukit Angin adalah dirimu. Dan tempat
istirahat yang dimaksud adalah kuburan sederhana ini. Tempatmu beristirahat
untuk selamanya. Rupanya kamu ingin menepati janji untuk datang ke Bukit Angin
saat hari ulang tahunmu.
“Kiuuuuuk...kiuuuuuuk...kiuuuukk!”
Sayup telingaku menangkap suara itu, suara yang amat ku kenal.
***
Denpasar, 9
September 2012