Sudah
lebih satu jam ku bolak-balikan lembar foto yang berserakan diatas meja kerjaku.
Aku
lelah dan mulai putusasa. 113 foto, karya terbaiku sudah aku tunjukan, tapi
belum ada yang memuaskan Si Kakek. Si Kakek Misterius, begitu aku menjulukinya.
Kakek dengan penampilanya yang biasa bahkan terkesan kumal, telah menantangku
untuk membuat foto yang dapat membuatnya senang. Foto terbaik versi Si Kakek. Uang
500 juta rupiah adalah tantangan yang disodorkan kepadaku. Dia akan membayar
karya terbaiku seharga itu. Bagiku, ini hal yang gila . Aku yang seorang
fotografer boleh dibilang semi profesional di kota ini. Aku memotret acara
perkawinan, wisuda, untuk iklan, dan acara lain. Mendapat tantang itu aku bersemangat. Ingin kutunjukan kemampuanku
pada Kakek misterius yang telah mengejek karya-karyaku.
Ya
empat bulan lalu aku bertemu kakek itu
di tempat makan langgananku. Saat menunggu pesanan, aku melihat hasil jepretan
kameraku. Aku memang baru dari lokasi pemotretan, ada perusaahaan yang memintaku
membuat foto untuk kalender perusahaan mereka. Hasilnya
menurutku bagus.
”Sungguh
tidak bermutu.” Sebuah suara datang dari sebelahku. Kulihat kakek memandangku dengan tatapan dingin.
“Kakek
bicara dengan saya?“ Aku berusaha sopan.
“
Foto itu sangat biasa.”
“Maksud
kakek apa?” Aku mulai kesal, bukanya menjawap pertanyaanku dia malah terus
mengomentari foto- fotoku. Si Tua itu terus berkicau seperti ibuku kalau uang belanjanya menipis. Fotoku
jelek, tidak kreatif, kacangan dan banyak lagi ocehanya yang intinya dia
menjelekan hasil karyaku. Semuanya membuat emosiku meningkat.
“Kakek,
kalau menurut kakek foto seperti apa yang bagus?”
“Begini
saja, kalau kamu bisa menghasilkan foto yang dapat memuaskan hatiku, aku akan membayar
foto itu seharga 500 juta.”
Aku
terkejut dengan tantangan Si Kakek. Dan
aku menerima tantangan itu. Sejak saat itu aku terus berkutat dengan kameraku. Ke
kampus, di rumah, di jalan dan tempat yang kurasa dapat menghasilkan karya yang
bagus. Aku menghabiskan banyak energi dan uang untuk berkeliling mencari tempat
dan objek foto terbaik.
Dua
minggu berlalu…
Aku
datang ke warung makan tempat aku dan kakek dulu bertemu. Hari ini aku membawa
lima foto yang kurasa paling bagus. Temanku bilang foto itu sempurna, dari
pencahayaan maupun objeknya. Sepuluh menit menunggu Si Kakek datang. Ia
langsung duduk di depanku.
“
Maaf kek, kakek ini sebenarnya siapa?” Aku penasaran, dia berani membayar
sebuah foto 500 juta tentu dia bukan orang biasa. Mungkin penguasaha kaya yang
gila foto.
“Foto
ini biasa.” Seperti pertemuan pertama
dia tidak menanggapi pertanyaanku. Semua foto yang ku bawa hari itu tidak
menarik perhatian Si Kakek misterius.
Begitulah
setiap dua minggu kami bertemu. Aku seperti seorang mahasiswa yang mengikuti
perkuliahan rajin sekali menemui kakek itu. Motivasiku mungkin uang atau harga
diri? Teman-teman sering mengolok-oloku.
Mereka bilang aku dikibuli oleh Si kakek. Buktinya sudah banyak foto yang
kuperlihatkan tidak ada yang bagus dimatanya. Bahkan beberapa foto ada yang
sudah pernah memenangkan lomba foto di kotaku. Hari itu aku ingat sekali. Ku
bawa beberapa foto untuk Si kakek. Salah
satu foto adalah “Nenek, Cucu, dan Ternaknya” Begitu aku memberi judul pada foto itu. Foto
itu aku ambil di desa kecil temapat Ayahku dilahirkan. Foto berlatar senja
dengan objek nenek tua sedang memandikan sapi peliharaanya. Didalam foto itu
juga ada cucu si nenek yang usianya enam tahun. Nenek keriput hanya memakai
kamben bermotif bunga yang warnanya
sudah memudar dan penutup kepala warnanya sudah tidak jelas putih atau abu, jangankan
memakai baju memakai kutang saja tidak. Cucunya memegang sabit dan hanya
memakai celana pendek lusuh. Ini adalah potret riil sebagian masyarakat
pedesaan yang kurang beruntung. Foto tersebut pernah meraih The Best Original Photo pada lomba foto
yang diadakan oleh harian terkemuka di kotaku.
Hampir
sepuluh menit aku menunggu reaksi Kakek misterius. Dia terus memandangi foto
itu. Sepertinya kakek suka. “Horeee aku menang!” Begitu batinku berkata.
“Dimana
kamu ambil foto ini ?” Setelah 25 menit,
akhirnya keluar juga suara dari mulutnya Si kakek.
“Di
kampungku kek, di desa kecil di ujung timur Pulau ini, Kakek senang.” Aku
menjawab dengan antusias.
“Tidak!”
Jawabnya kemudian.
“Foto
ini hanya mengekploitasi kemiskinan, memamerkan kekurangan dan ketidak adilan. Dengan
foto ini kamu hanya menyodorkan masalah tanpa solusi. Yang seperti ini sudah
banyak, aku kurang suka.” Sambil berdiri kakek itu menaruh foto
tersebut.
Kupandangi
langkah terseok Si Kakek, keluar pintu berjalan kearah jalan raya menuju sepeda
motor tua yang menunggunya.
Rasa
penasaran terus menyelimutiku, aku ingin mengetahui jati diri Si kakek yang
menantangku. Kakek itu kadang datang naik sepeda motor butut atau naik mobil
produksi tahun 80-an. Apa benar ia kaya? Apa yang menyebabkan dia menantangku ?
Hari
itu kuputuskan untuk mengikuti Si Kakek. Setelah motor tuanya melaju akupun
menuju Si Putih, metik kesayanganku yang setia menemaniku kemanapun aku pergi. Beberapa
saat kemudian aku sudah melaju menembus ramainya lalu-lintas. Aku cukup kaget melihat Si kakek cukup gesit
melibas keramaian lalu-lintas kota. Kurang lebih 20 menit menyusuri jalan
kulihat kakek memacu motornya memasuki sebuah bangunan yang cukup luas.
“PANTI JOMPO RUJAK”
Itulah
tulisan yang terpatri pada papan nama kecil yang terpasang didepan gerbang. Ternyata kakek tinggal di Panti Jompo. Begitulah
kesimpulan sementaraku. Yang membuatku cukup penasaran adalah nama “ Panti Jompo Rujak” Nama yang unik bagiku. Untuk
mendapat info tentang kakek aku putuskan berhenti di warung kopi di seberang
jalan.
“Kopinya Mbak “ kataku sambil menghempaskan
pantat di bangku kayu. Sudah jam 4 sore
aku merasa penat. Di warung itu hanya ada aku dan seorang pria yang duduk di
pojok ruangan. Lima menit kemudian
segelas kopi telah terhidang di depankau. Sambil menyerubut kopi hitam
kunyalakan rokok, dan mulailah aku bertanya-tanya pada perempuan separuh baya
penjaga warung tersebut. Dari perempuan itu aku mendapat gabaran tentang Panti
Jompo tersebut. Panti itu sudah berdiri lebih dari 20 tahun. Pendirinya adalah
Nenek Lung. Nenek Lung adalah pengusaha kaya raya keturunan cina. Sayangnya
Nenek Lung tidak memiliki suami. Karena itulah dia mendirikan Panti khusus
orang yang tua yang tidak atau belum menikah.
“Mungkin
5 atau 10 tahun lagi saya juga akan kesitu.”
Perempuan itu berkat lirih sambil menatap Panti Rujak. Aku jadi mengerti rupanya
perempuan ini belum berumah tangga sampai seusia ini.
“Ibu
kenal dengan seorang kakek yang tinggal di Panti itu?” Aku mencoba mengalihkan perasaan perempuan itu
yang terlihat gurat kekecewaan dan penyesalan di wajahnya.
“
Kakek....? Banyak lelaki tua saya lihat keluar masuk kesitu.”
“
Kakek itu suka memakai topi hitam, jalanya agak pincang, sering naik sepeda
motor tua.” Aku coba mendeskripsikan ciri-ciri kakek misterius.
“
Oh…dia. Aku tidak kenal, orang itu tidak
pernah kesini. Memang sering aku lihat dia keluar masuk Panti.”
Tepat
jam 5 sore aku meninggalkan warung itu. Sebelum pulang aku sempatkan mengambil
gambar Panti dan warung kecil itu, dari berbagai sudut.
***
Suara
ketokan dipintu menyadarkan lamunanku.
“
Masuk!”
“Masih
memikirkan kakek itu?” Ananta temaku
muncul dari balik pintu ruang kerja.
“Aku
makin penasaran.” Kataku sambil
merapikan foto-foto yang berserakan di meja.
“
Udah dibawa santai saja, 15 menit lagi kita berangkat ke kampus Universitas AKAR.” Ananta berkata sambil
meninggalkan ruangan tanpa menunggu jawabanku. Hari ini kami kan
mendokumentasikan acara berskala internasional yang di adakan kampus tersebut.
Hari
ini adalah Sabtu. Dan sore ini adalah janjiku bertemu Si Kakek Misterius. Sebenarnya
aku sudah mulai males bertemu dia tapi aku malu untuk menyerah. Aku
siapkan beberapa lembar foto yang
kuambil kemarin.
Setengah
jam sudah aku menunggu, lebih dari 3 batang rokokku sudah habis. Si kakek belum
juga muncul. Tidak biasanya dia terlambat begini, paling lambat biasanya 15
menit saja. Kuputuskan untuk pergi. Mungkin Si Kakek memang kakek biasa yang
iseng dan memang buka pecinta foto atau bukan orang kaya. Dia memang mengerjai
aku, benar kata teman-teman dia hanya kakek stress yang iseng.
Saat
aku melangkah keluar, tiba-tiba seorang laki-laki berbadan kekar masuk. ”Selamat
sore. Anda yang bernama Karma?“ Laki-laki berkacamata hitam itu menyapaku.
“Ia,
Anda siapa?”
“Saya
utusan Pak Rahmat, kakek yang menantang anda membuat foto terbaik.”
“ Ohhh…jadi namanya Pak Rahmat?”
“
Karena sibuk, Pak Rahmat tidak bisa datang, maka saya di minta mengambil foto yang akan anda
berikan hari ini.”
Aku
kemudian menyerahkan amplop berisi foto yang telah kusiapkan. Sebelum pergi
lelaki itu berpesan kalau Pak Rahmat senang dengan foto itu maka aku akan dihubungi.
Aku
bertambah penasaran dengan Si Kakek Misterius, yang ternyata bernama Pak
Rahmat. Lelaki yang mengambil foto tadi kuperhatikan seperti seorang bodyguard, dengan mengendarai motor
gede. Apa mungkin dia kakek biasa kalau orang suruhanya penampilanya seperti
itu? Si Kakek memang telah membuatku bekerja keras untuk menciptakan karya
terbaik. Aku tidak ingin di cemooh oleh Kakek tua itu. Sampai dirumah aku
langsung mandi dan mencoba merebahkan diri di tempat tidur, walau bayang-bayang
penasaran masih menyelimutiku.
Pagi
ini seperti biasa, aku bangun terlambat. Sudah setengah delapan aku harus ke kampus.
Saat aku bergegas menuju Si Putih metik kesayanganku, tiba-tiba hp berbunyi. Pikiranku
mengatakan itu sms Ananta yang mengingatkanku rencana pemotretan besok atau
Beni teman kuliahku yang bilang tidak bisak kuliah hari ini.
Dari
: +6281870000889
Anda di tunggu Pak Rahmat Di Panti
Jompo Rujak
Sekarang juga…
Langsung saja Si
Putih kulaju kearah Panti Rujak. Perduli
amat dengan Prof Yosi dosen pengajarku hari ini. Pikiranku telah terfokus pada
Kakek misterius alias Pak Rahmat. Apakah fotoku bagus. Ekspektasiku meninggi.
Panti
Jompo Rujak. Bangunanya bergaya klasik, dengan taman yang tertata rapi membuat
suasana cukup asri.
“Anda
sudah ditunggu.” Seorang lelaki mengantarku menuju ke halaman belakang bangunan
tersebut.
“Selamat
Pagi Kek.” Aku menyapa ketika kulihat sesosok tubuh yang memegang tongkat
sedang memandangi air pancuran di kolam kecil di depanya.
“Silahkan
duduk.” Tanpa menoleh dia menyapaku.
Akupun
duduk perlahan, suasana yang kaku
langsung menyergap perasaanku. Kurasakan jantungku berdetak lebih cepat dari
biasanya. Sekeliling kulihat hanya beberapa orang sedang membersihkan halaman, dan
menyiram kebun bunga.
“Sempurna…!”
“Aku
suka ini.” Kakek itu tiba-tiba berbalik
dan membanting dua lembar foto. Kakek tertawa, melompat-lompat kegirangan. Tingkahnya
seperti seorang anak yang mendapat hadiah istimewa.
Itu
foto karyaku. Foto pertama adalah foto diriku sendiri, iseng ku ambil di ruang
kerjaku saat aku suntuk. Didepanku bertebaran foto-foto hasil karyaku yang
telah dicetak dan sempat ditolak Si Kakek. Kedua adalah foto Si Kakek sendiri. Ku
ambil saat pertemuan kedua di warung. Terlihat dari samping dia sedang memegang
gelas kopinya. Kenapa foto ini bisa ada di kakek ?
Kupandangi
cek senilai 500 juta pemberian Kakek Misterius. Ia menepati janjinya. Pak
Rahmat begitulah orang-orang di Panti Rujak memanggilnya, ternyata adalah
seorang konglomerat. Pak Rahmat tidak memiliki istri karena itu dia tinggal di
Panti Jompo Rujak. Ia meninggalkan rumah dan harta benda lainya. Sebagian besar
hartanya telah didonasikan untuk membantu pendidikan dan kesehatan bagi warga miskin di Afrika dan
Asia. Dan sisanya dia pakai mengelola Panti jompo Rujak. Mengapa dia memilih
Panti Jompo tersebut? Ternyata saat muda Pak Rahmat memiliki love Story dengan Nenek Lung pendiri
Panti.
“Foto
ini menunjukan rasa percaya dirimu, percaya diri adalah modal untuk menjalani
hidup.” Begitu alasan sederhana yang diungkapkan Pak Rahmat.
Foto
kedua, foto dirinya sedang minum kopi. “Ini aku suka.” katanya.
Entah
kenapa ia suka foto dirinya sedang minum kopi?
Kenapa
ia berani mengeluarakan 500 juta untuk foto itu?
***
Ditengah gemulainya tarian debu:
Karangasem-Bali,
27 Agustus 2012