Pages

Kamis, 08 Agustus 2013

Bukit Gelombang


Sebuah bukit bernama Bukit Gelombang adalah tempatku dilahirkan. Kenapa namanya Bukit Gelombang, saat aku tanya pada orangtuaku mereka tak pernah memberi jawaban yang memuaskan. Bukit Gelombang terletak di Desa atau di Bali disebut Banjar, yaitu Banjar Bangle. Nah, kalau Bangle itu bahasa Bali yang artinya adalah nama sejenis tumbuhan yang katanya menyerupai kunyit/kunir. Aku juga tak pernah melihat bagaimana bentuknya tanaman tersebut. Di Bukit Gelombang itulah orangtuaku tinggal dalam dua buah gubuk bambu beratap ilalang. Bangunan satu berfungsi sebagai dapur dan yang satunya lagi sebagai kamar tidur. Bangunan itu sengaja dibangun berhadap-hadapan. Di  selatan rumah ada sebuah kolam ikan. Sementara di utara ada kandang sapi. Kandang itu dihuni dua ekor sapi betina beserta seekor anaknya yang baru dua bulan. Rumah atau tepatnya gubuk kami terletak di tengah ladang.  Barisan pohon jambu yang berbuah lebat memagari gubuk kami.
 
Menurut cerita yang kudengar dari ayahku, aku dengarnya ga sengaja saat itu ayah ngobrol dengan temanya. Aku lahir ditolong oleh dukun. Dukun beranak, yang menolong ibu-ibu yang melahirkan, bukan dukun santet ya. Kalau mencari bidan jauh banget di kota kecamata yang letaknya puluhan kilometer. Saat itu malam berpayung sinar redup purnama yang tertutup awan berarak. Dibalai bambu dapur kami, ibu mempertaruhkan segalanya untuk mendapat tiket sorga yaitu dengan melahirkan anak yaitu aku. Tangisan pertamaku menggema memenuhi lembah di Bukit Gelombang. Saat mendengar tangisanku sapi mengibas-ibaskan ekornya tanda gembira.  Ayam-ayam peliharaan ayah juga berteriak sahut-menyahut. Si Burik, ayam jago kebanggaan ayah berkokok dengan lantangnya.  Lain lagi tingkah anjing penjaga gubuk kami. Anjing berwarna putih itu berlari kearah gubuk sambil menyalak . Ia mendekati ayah, mungkin ingin mengucapkan selamat atas kelahiranku.

Kakek Tun adalah ayah dari ibu, beliaulah yang menyambutku pertama kali. Tangan keriput beliau mengusap kulitku. Bibir keringnya berucap,“Cucuku pertamaku laki-laki.” 
Berikutnya, tangan terampil Nenek Cung ( bukan nama korea atau cina ya, asli orang Bali ) membersihkan tubuh mungilku. Nenek Cung adalah istri tertua Kakek Tun, ia ibu kandung dari Ibu. Kemana kakek dan nenekku dari ayah? Mereka ga ada yang datang. Katanya sih, waktu itu ayah lagi marahan sama mereka, ga tau apa penyebabnya.

Di halaman rumah, tepatnya dua meter dari teras dapur ayah terlihat sibuk mengayun cangkul. Keringat sedikit menitik dipelipis, dinginya angin malam menuju pagi tak ia rasakan.  Ia ayah sedang membuat lubang tempat menanam ari-ari. Setelah lubang cukup dalam, ayah mengambil buah kelapa tua. “Plaaak!” Kelapa itu dibelah jadi dua bagian. Ari-ari/pasenta, darah, air ketuban yang membalut tubuhku saat aku dilahirkan dimasukan kebuah kelapa tersebut. Itu sebagai ungkapan terima kasih karena mereka ( ari-ari, dll )  telah menjaga si bayi saat dalam kandungan. Mereka juga diyakini sebagai saudara yang akan menjaga si bayi sampai umur tertentu.
 
“Kamu sudah menyiapkan nama untuk anakmu?” Suara Kakek Tun memecah kesunyian.
“Sementara namanya Wayan  saja.” Ayah menjawab sambil berjongkok didepan lubang untuk memasukan kelapa yang sudah berisi ari-ari. Ya, Wayan adalah nama untuk anak tertua bagi orang Bali.  Saat kelapa dimasukan kelobang, katanya harus menyebutkan nama si bayi. 
“Sapinya sudah dikasi makan?” Kakek Tun kembali bersuara.
“Belum?” Ayah menjawab sambil memasukan kelapa kedalam lobang. Kemudian ayah berdoa, mungkin doanya tentang harapannya agar aku saat dewasa nanti bisa jadi Gubernur, atau setidaknya Bupati. 
Tentu pembaca bertanya-tanya, saat hikmad seperti itu Kakek Tun nanya tentang sapi. Pertanyaanya ga berbobot gitu. Sekarang aku juga baru tau jawabanya. Katanya, saat menanam ari-ari Si Penanam yang umumnya ayah si bayi harus bersuara agar anaknya tumbuh jadi anak yang pintar ngomong alias tidak gagu. Makanya ada orang yang mengajak berbicara dengan mengeluarkan suatu pertanyaan.

Malam makin menyusut, pagi makin mendekat. Ki Dukun pamit pulang. Sebelum meninggalkan gerbang gubuk kami yang terbuat dari bilahan bambu kuning Ki Dukun membisikan sesuatu pada ayah. Ayah hanya mengangguk sambil berucap terima kasih. Setelah obor penerangan jalan yang dibawa Ki Dukun lenyap diantara pepohonan ayah bergegas kembali dalam rumah.  
Limabelas menit kemudian, api telah mengepul di halaman rumah. Api itu berasal dari perapian kecil yang dibuat ayah. Suara ledakan kecil, disusul jilatan api yang agak tinggi terdengar saat ayah melemparkan sesuatu kedalam api. Entah apa.
**

Rabu, 07 Agustus 2013

IINDONESIAKU

Indonesia …
Tanah Airku
Zamrud khatulistiwa
Tempat mekarnya  kedamaian
Dalam belantara perbedaan

Indonesiaku…
Negeri  beribu pulau
Negeri berjuta harapan
Dilaut birumu
  aku menabur mimpi
Ditanahmu yang subur
    ku tebar cita-cita               

Merah putih
    tetaplah berkibar
Meski badai menerjang
Tak ku biarkan warnamu memudar
    dilindas peradaban
Garudaku terbanglah tinggi
Biar dunia melihat kepak sayapmu yang perkasa
Indonesia
Tumpah darahku


                                                                     : Juli 2012