Sebuah bukit bernama Bukit Gelombang
adalah tempatku dilahirkan. Kenapa namanya Bukit Gelombang, saat aku tanya pada
orangtuaku mereka tak pernah memberi jawaban yang memuaskan. Bukit Gelombang
terletak di Desa atau di Bali disebut Banjar, yaitu Banjar Bangle. Nah, kalau
Bangle itu bahasa Bali yang artinya adalah nama sejenis tumbuhan yang katanya
menyerupai kunyit/kunir. Aku juga tak pernah melihat bagaimana bentuknya
tanaman tersebut. Di Bukit Gelombang itulah orangtuaku tinggal dalam dua buah
gubuk bambu beratap ilalang. Bangunan satu berfungsi sebagai dapur dan yang
satunya lagi sebagai kamar tidur. Bangunan itu sengaja dibangun
berhadap-hadapan. Di selatan rumah ada
sebuah kolam ikan. Sementara di utara ada kandang sapi. Kandang itu dihuni dua
ekor sapi betina beserta seekor anaknya yang baru dua bulan. Rumah atau
tepatnya gubuk kami terletak di tengah ladang.
Barisan pohon jambu yang berbuah lebat memagari gubuk kami.
Menurut cerita yang kudengar dari
ayahku, aku dengarnya ga sengaja saat itu ayah ngobrol dengan temanya. Aku
lahir ditolong oleh dukun. Dukun beranak, yang menolong ibu-ibu yang
melahirkan, bukan dukun santet ya. Kalau mencari bidan jauh banget di kota
kecamata yang letaknya puluhan kilometer. Saat itu malam berpayung sinar redup
purnama yang tertutup awan berarak. Dibalai bambu dapur kami, ibu mempertaruhkan segalanya untuk mendapat tiket sorga yaitu dengan melahirkan
anak yaitu aku. Tangisan pertamaku menggema memenuhi lembah di Bukit Gelombang.
Saat mendengar tangisanku sapi mengibas-ibaskan ekornya tanda gembira. Ayam-ayam peliharaan ayah juga berteriak
sahut-menyahut. Si Burik, ayam jago kebanggaan ayah berkokok dengan lantangnya.
Lain lagi tingkah anjing penjaga gubuk
kami. Anjing berwarna putih itu berlari kearah gubuk sambil menyalak . Ia
mendekati ayah, mungkin ingin mengucapkan selamat atas kelahiranku.
Kakek Tun adalah ayah dari ibu,
beliaulah yang menyambutku pertama kali. Tangan keriput beliau mengusap
kulitku. Bibir keringnya berucap,“Cucuku pertamaku laki-laki.”
Berikutnya, tangan terampil Nenek
Cung ( bukan nama korea atau cina ya, asli orang Bali ) membersihkan tubuh
mungilku. Nenek Cung adalah istri tertua Kakek Tun, ia ibu kandung dari Ibu. Kemana
kakek dan nenekku dari ayah? Mereka ga ada yang datang. Katanya sih, waktu itu
ayah lagi marahan sama mereka, ga tau apa penyebabnya.
Di halaman rumah, tepatnya dua meter
dari teras dapur ayah terlihat sibuk mengayun cangkul. Keringat sedikit menitik
dipelipis, dinginya angin malam menuju pagi tak ia rasakan. Ia ayah sedang membuat lubang tempat menanam
ari-ari. Setelah lubang cukup dalam, ayah mengambil buah kelapa tua. “Plaaak!”
Kelapa itu dibelah jadi dua bagian. Ari-ari/pasenta, darah, air ketuban yang
membalut tubuhku saat aku dilahirkan dimasukan kebuah kelapa tersebut. Itu
sebagai ungkapan terima kasih karena mereka ( ari-ari, dll ) telah menjaga si bayi saat dalam kandungan.
Mereka juga diyakini sebagai saudara yang akan menjaga si bayi sampai umur
tertentu.
“Kamu sudah menyiapkan nama untuk
anakmu?” Suara Kakek Tun memecah kesunyian.
“Sementara namanya Wayan saja.” Ayah menjawab sambil berjongkok didepan
lubang untuk memasukan kelapa yang sudah berisi ari-ari. Ya, Wayan adalah nama
untuk anak tertua bagi orang Bali. Saat
kelapa dimasukan kelobang, katanya harus menyebutkan nama si bayi.
“Sapinya sudah dikasi makan?” Kakek
Tun kembali bersuara.
“Belum?” Ayah menjawab sambil
memasukan kelapa kedalam lobang. Kemudian ayah berdoa, mungkin doanya tentang
harapannya agar aku saat dewasa nanti bisa jadi Gubernur, atau setidaknya
Bupati.
Tentu pembaca bertanya-tanya, saat
hikmad seperti itu Kakek Tun nanya tentang sapi. Pertanyaanya ga berbobot gitu.
Sekarang aku juga baru tau jawabanya. Katanya, saat menanam ari-ari Si Penanam
yang umumnya ayah si bayi harus bersuara agar anaknya tumbuh jadi anak yang
pintar ngomong alias tidak gagu. Makanya ada orang yang mengajak berbicara
dengan mengeluarkan suatu pertanyaan.
Malam makin menyusut, pagi makin
mendekat. Ki Dukun pamit pulang. Sebelum meninggalkan gerbang gubuk kami yang
terbuat dari bilahan bambu kuning Ki Dukun membisikan sesuatu pada ayah. Ayah
hanya mengangguk sambil berucap terima kasih. Setelah obor penerangan jalan
yang dibawa Ki Dukun lenyap diantara pepohonan ayah bergegas kembali dalam
rumah.
Limabelas menit kemudian, api telah
mengepul di halaman rumah. Api itu berasal dari perapian kecil yang dibuat
ayah. Suara ledakan kecil, disusul jilatan api yang agak tinggi terdengar saat
ayah melemparkan sesuatu kedalam api. Entah apa.
**