Pages

Selasa, 21 Mei 2013

BUKIT ANGIN


          Bukit mungil itu berdiri di pinggir Desa Sunyi. Di punggungnya ilalang tumbuh dengan subur. Pohon besar yang tumbuh disana tak sampai 20 batang. Belasan pohon jambu mente tersebar mengelilinggi bukit. Sisanya adalah sepasang nangka dan 3 batang pohon pinang yang tumbuh tepat di puncak bukit. Karena itulah Masyarakat Desa Sunyi menyebut bukit itu dengan nama Bukit Ilalang.
            Bukit ini masih tetap sama seperti tahun-tahun lalu, saat terakhir Aku kesini. Hanya sepasang pohon nangka itu kini sudah tambah besar, ranting-rantingnya melebar menutupi  sebagian permukaan bukit. Tiga batang pohon pinang masih berdiri kokoh dan bertambah tinggi. Yang jauh berbeda adalah pemandangan Desa Sunyi yang mengecil di bawah sana. Dulu, sawah hijau membentang terlihat seperti permadani yang dibentangkan menutupi desa. Saat sore kita dapat melihat barisan petani yang pulang dari sawah berbaur dengan suara ternak yang digiring bocah gembala pulang kekandangnya. Kini sawah-sawah itu telah berganti jadi bangunan. Hanya tersisa beberapa petak yang tersebar disana-sini.
            Panas mentari yang menyengat siang ini terasa memijat kulitku saat angin bergerak pelan, derunya sungguh merdu. Diatas batu besar itu Aku kembali melihat mu, rambut hitam, tangan-tangan mungilmu, dan suara :
             “Kiuuuuuk...kiuuuuuuk,kiuuuuk.....!” Itulah mantra memanggil angin yang sering kita teriakan. Biasanya setelah kita meneriakan itu maka perlahan angin akan datang menyambar baling-baling kayu ditangan kita. Kita melompat, tertawa, dan menikmati nyayian merdu yang tercipta dari baling-baling yang di cium angin. Bukit Angin, itu nama yang kita berikan pada Bukit Ilalang.
            Di bawah pohon nangka ini, kita berteduh sambil memperbaiki baling-baling. Merautnya dengan pisau agar suara yang dihasilkan lebih merdu. Di dahan pohon ini kita biasanya menaruh botol minum. Kamu sering marah kalau minumanmu aku habiskan, sebagai permintaan maaf akan ku petik beberapa bunga ilalang dan ku hadiahkan untukmu. Dan senyum manismu akan mengembang, lalu kamu akan berlari menuruni bukit. Tentu saja Aku akan mengejarmu.
            Kita jatuh bersama...
            Disaat lain kita duduk diatas batu babi, batu yang bentuknya menyerupai kepala babi. Memandang bentangan sawah menghijau di bawah sana, sambil bercerita tentang mimpi masa depan.
            Bukit Angin adalah saksi suka-duka masa kecil kita. Pernah suatu ketika kamu dimarah oleh orang tuamu karena kamu memecahkan pot kesayangan Ayahmu. Ku lihat kamu berlari keluar rumah, ku yakin tujuanmu adalah Bukit Angin. Benar saja, kudapati kamu sedang duduk di batu babi.
            “Ayah lebih sayang pot bunganya dari pada aku.” Katamu kemudian.
            Air mata di pipimu menguap berganti dengan senyum merona saat nada Maskumambang coba aku lantunkan lewat ruas seruling bambuku. Seruling itu adalah hadiahmu saat setahun sebelumnya engkau dan keluarga pulang ke kampung halamanmu.
            Kamu tentu masih ingat, saat kita naik ke kelas empat. Saat itu kamu jadi juara kelas. Besoknya kita berpesta di Bukit Angin. Kita mengajak teman-teman, mereka adalah Alun, Agung, Siti, dan Bento. Membuat api unggun, lalu membakar beberapa buah singkong yang ku ambil di kebun Ayah. Setelah makan singkong bakar itu kita bernyanyi dan tertawa bersama. Tepuk tanggan kita menggema di lereng bukit mengiringi bait puisi yang kau baca.
            Gadis manisku. Ketahuilah, tiap 15 Maret aku selalu datang menunggumu di bukit ini. Aku ingin memenuhi janji yang pernah kita ucapkan.
            Ketika itu adalah ulang tahunmu yang ke-12. Sore itu aku menemukan sederet beban di senyumu.
            “Besok aku akan pergi, Ayahku di pindah tugaskan ke daerah lain“ Itulah kata yang terlahir dari bibirmu saat itu.
            Di bawah pohon nangka ini kita berpegangan tangan. Kukalungkan rangkaian kalung berbahan butiran biji lantoro, itu adalah hadiah untukmu, yang telah seminggu aku persiapkan. Kuhapus butir air yang meleleh di pipimu. Kita berdiri, tanganmu ku genggam erat.
            “Kiuuuuukkkk...kiuuuuuk...kiuuuuk...!“ Kita berteriak memanggil angin.
            Dalam baluran angin sepoi itu kau berjanji, “Saat ulang tahunku nanti aku akan datang kesini. Kita akan memanggil angin lagi“
            “Ya, aku akan menunggu disini “
            Saat itu senja datang membawa aura yang tak bisa kita ungkap dengan kata-kata. Hanya lewat nada dari serulingku ku saampaikan harapan. Dan saat pelan senja menutup layarnya kitapun menuruni bukit. Di kaki bukit, kita bersama menatap puncak Bukit Angin. Engkau berteriak, “Selamat tinggal Bukit Angin, aku pasti akan datang kembali!”
            Esoknya, ku antar langkah kakimu dengan lambaian tangan. Saat gerobak yang ditarik seekor sapi berwarna hitam itu bergerak pelan menyusuri jalanan desa. Wajahmu semakin lama semakin mengecil dan lenyap bersama debu jalanan yang membumbung.
            Janji itu sudah lama kita ucapkan, 15 Maret telah datang dan pergi berkali-kali. Namun sampai hari ini kamu tidak pernah muncul. Aku hanya bertemu dengan gema suara kecilmu, yang berlari bersama angin yang menyisir ilalang di punggung bukit.
***
            Perlahan Aku rebahkan badanku diatas batu babi. Kutatap  langit yang maha luas. Saat Aku buka mata terasa ada yang berbeda pada diriku. Kudapati rambutku memutih dan kulit ditangan ini keriput.
            “Kakek, pulanglah ada yang menunggu di rumah!” Sesosok anak  kecil berdiri didepanku.
            “Siapa?”
            “Aku tak tahu, pulang saja.” Bocah itu telah berlari menuruni Bukit Angin.
            Sampai di rumah ku lihat sosok pria tegap dengan kulit legam, dan rambut memutih. Itu adalah sosok yang sangat aku kenal.
            “Alun, kenapa mencariku?” Alun hanya tertawa kecil sambil menggangkat botol digenggamanya.
            Malam itu aku dan Alun larut dalam canda dan tawa. Bersama buih dan aroma tuak kami mengupas masa lalu, menyusuri kembali jalan-jalan setapak, ruang-ruang berdebu di kelas, pematang sawah, dan semua hal yang tumbuh dalam dunia masa kecil kami.
            “Lintang, apakah kamu ingat Laras teman kita?” Kata-kata Alun langsung mengunciku. Aku hanya menggangguk.
            “Minggu lalu aku bertemu dengan Siti di Kota Kabupaten, Aku sempat tanyakan tentang Laras.”
            “Terus, bagaimana?” Aku jadi penasaran dengan keterangan Alun.
            “Siti pernah bertemu Laras saat mereka kelas 1 SMA.”
            Kelas satu SMA, itu sudah lama. Pelan ku angkat lagi gelas tuak didepanku. Satu teguk saja gelas tersebut telah kosong.
             “Kakek, sudah cukup minumnya.” Sebuah suara mengejutkan kami. Hasan, cucu Alun berdiri didepan kami.
           “Kamu ini mengganggu kakek saja. Dari mana kamu ?” Alun menatap cucunya.
            Hasan duduk disebelah Alun. “Saya dari rumah Kepala Desa.”
            “Ada masalah apa malam-malam begini?” Aku jadi merasa penasaran.
            “Begini kek, tadi pertemuan di rumah Pak Kepala Desa membicarakan mengenai rencana penjualan Bukit Ilalang”
            “Apa? Bukit Ilalang akan dijual? Aku terkejut mendengar kata-kata Hasan. Ku lihat muka Alun juga menunjukan ekspresi keterkejutan yang sama dengan yang aku rasakan.
              “Anak muda, apa yang kalian pikirkan? Aku tidak terima kalau bukit itu akan dijual!” Aku marah, benci, tidak terima dengan pemikiran mereka. Alasan apa yang menyebabkan bukit itu mesti dijual? Kalau dijual, uangnya untuk apa?
            “Tenang dulu kek, memang ada investor yang mau menawar Bukit Ilalang tetapi itu belum menjadi keputusan warga desa. Besok sore hal itu akan dibahas saat musyawarah desa, tadi itu rapat kecil yang dihadiri  beberapa tokoh masyarakat.”
            “Bukit Ilalang mau dibuat apa oleh orang-orang itu?” Alun kebali bertanya pada cucunya.
            “Katanya mereka mau membangun rumah peristirahatan.”
            Pokoknya Aku tidak terima kalau Bukit Ilalang dijual. Aku tak ingin Bukit Angin menjadi milik orang asing.
            “Mau keman kamu Lintang?” Alun berteriak memanggilku.
            Aku berjalan, ku ikuti langkah sosok gadis kecil yang berlalu kian menjauh. Dia berlari, berlari kearah Bukit Angin.
***
            Saat ku buka mata, ada warna putih yang membayang. Ternyata aku berada di sebuah kamar yang asing, ini bukan kamar di gubukku.
            “Selamat Pagi Kek!” Gadis manis berpakaian putih berdiri di depanku.
            “Sekarang kakek sarapan ya.” Gadis itu duduk lalu menyuapi mulutku. Makanan itu coba aku kunyah.
            “Dimana ini?”
            “Ini rumah sakit kek.”            
            Saat Aku sedang menginggat kenapa Aku bisa berada di tempat ini, Mata ini tertuju pada televisi yang sedang menyiarkan berita.
            “Dapat kami kabarkan, tadi pagi pukul 05.00 terjadi kecelakaan pesawat helikopter. Pesawat naas itu jatuh pada sebuah bukit di desa kecil yang bernama Desa Sunyi. Belum diketahui penyebab pasti jatuhnya pesawat tersebut, namun dugaan sementara pesawat jatuh karena cuaca buruk berupa angin kencang yang menerpa  badan pesawat.”
            “Tim SAR telah menemukan dua orang korban yaitu pilot pesawat dan seorang perempuan usia sekitar 50  tahun.”
***
            Setelah seminggu istirahat di rumah sakit akhirnya Aku dapat kembali pulang ke desa. menemui kembali ranjang bambuku yang empuk. Kasur di rumah sakit sungguh menyiksaku.
            Alun datang ke gubuk setelah Aku tiga hari keluar dari rumah sakit. “Kamu sudah sehat?”
            “Lihat saja sendiri, Aku bahkan merasa lebih sehat dari sebelum Aku ke rumah sakit”
            “Kalau begitu ayo kita ke bukit.”
            Aku merasa heran dengan Alun. Tidak biasanya dia mengajak Aku ke Bukit Angin. Biasanya Aku diajak mencari tuak untuk kita minum atau melihat ayam jago yang baru dibelinya.
            “Ada yang ingin bertemu denganmu.” Begitulah kata-kata Alun meyakinkanku.
            Bersama rasa penasaran yang mengelayuti pikiran Aku ikuti langkah Alun menapaki jalan berdebu menuju Bukit Angin. Setengah jam mendaki kami tiba di puncak Bukit Angin. Alun langsung mengajaku ke pohon nangka.
LARAS SAVITRI
Lahir  : 15 Maret 1960
Wafat : 15 Maret 2012
            Aku tertegun menatap nisan didepanku. Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat. Tak terasa air mata menetes membasahi gundukan itu.
            “Saat kamu di rumah sakit, warga desa sepakat menjual Bukit Angin pada investor yang mau membeli. Warga setuju karena dia hanya membeli seluas 5x5 meter persegi dengan harga yang tinggi. Rencananya uang hasil penjualan itu akan digunakan membangun Balai Serbaguna. Tanggal 15 Maret investor itu akan datang ke bukit. Lalu terjadilah kecelakaan itu.” Alun menepuk pundaku saat mengakhiri ceritanya.
            Kini Aku paham, investor yang ingin membeli Bukit Angin adalah dirimu. Dan tempat istirahat yang dimaksud adalah kuburan sederhana ini. Tempatmu beristirahat untuk selamanya. Rupanya kamu ingin menepati janji untuk datang ke Bukit Angin saat hari ulang tahunmu.
“Kiuuuuuk...kiuuuuuuk...kiuuuukk!” Sayup telingaku menangkap suara itu, suara yang amat ku kenal.
***

Denpasar, 9 September 2012