Pages

Kamis, 09 Januari 2014

AKU, KAKEK DAN FOTO



            Sudah lebih satu jam ku bolak-balikan lembar  foto yang berserakan diatas meja kerjaku. Aku lelah dan mulai putusasa. 113 foto, karya terbaiku sudah aku tunjukan, tapi belum ada yang memuaskan Si Kakek. Si Kakek Misterius, begitu aku menjulukinya. Kakek dengan penampilanya yang biasa bahkan terkesan kumal, telah menantangku untuk membuat foto yang dapat membuatnya senang. Foto terbaik versi Si Kakek. Uang 500 juta rupiah adalah tantangan yang disodorkan kepadaku. Dia akan membayar karya terbaiku seharga itu. Bagiku, ini hal yang gila . Aku yang seorang fotografer boleh dibilang semi profesional di kota ini. Aku memotret acara perkawinan, wisuda, untuk iklan, dan acara lain. Mendapat tantang  itu aku bersemangat. Ingin kutunjukan kemampuanku pada Kakek misterius yang telah mengejek karya-karyaku.
          Ya empat  bulan lalu aku bertemu kakek itu di tempat makan langgananku. Saat menunggu pesanan, aku melihat hasil jepretan kameraku. Aku memang baru dari lokasi pemotretan, ada perusaahaan yang memintaku membuat  foto  untuk kalender perusahaan mereka. Hasilnya menurutku bagus.
           ”Sungguh tidak bermutu.” Sebuah suara datang dari sebelahku. Kulihat kakek  memandangku dengan tatapan dingin.
            “Kakek bicara dengan saya?“ Aku berusaha sopan.
            “ Foto itu sangat biasa.”
            “Maksud kakek apa?” Aku mulai kesal, bukanya menjawap pertanyaanku dia malah terus mengomentari foto- fotoku. Si Tua itu terus  berkicau  seperti ibuku kalau uang belanjanya menipis. Fotoku jelek, tidak kreatif, kacangan dan banyak lagi ocehanya yang intinya dia menjelekan hasil karyaku. Semuanya membuat emosiku meningkat.
            “Kakek, kalau menurut kakek foto seperti apa yang bagus?”
            “Begini saja, kalau kamu bisa menghasilkan foto yang dapat memuaskan hatiku, aku akan membayar foto itu seharga 500 juta.”
            Aku terkejut dengan tantangan  Si Kakek. Dan aku menerima tantangan itu. Sejak saat itu aku terus berkutat dengan kameraku. Ke kampus, di rumah, di jalan dan tempat yang kurasa dapat menghasilkan karya yang bagus. Aku menghabiskan banyak energi dan uang untuk berkeliling mencari tempat dan objek foto terbaik.
            Dua minggu berlalu…
            Aku datang ke warung makan tempat aku dan kakek dulu bertemu. Hari ini aku membawa lima foto yang kurasa paling bagus. Temanku bilang foto itu sempurna, dari pencahayaan maupun objeknya. Sepuluh menit menunggu Si Kakek datang. Ia langsung duduk di depanku.
            “ Maaf kek, kakek ini sebenarnya siapa?” Aku penasaran, dia berani membayar sebuah foto 500 juta tentu dia bukan orang biasa. Mungkin penguasaha kaya yang gila foto.
            “Foto ini biasa.”  Seperti pertemuan pertama dia tidak menanggapi pertanyaanku. Semua foto yang ku bawa hari itu tidak menarik perhatian Si Kakek misterius.
            Begitulah setiap dua minggu kami bertemu. Aku seperti seorang mahasiswa yang mengikuti perkuliahan rajin sekali menemui kakek itu. Motivasiku mungkin uang atau harga diri?  Teman-teman sering mengolok-oloku. Mereka bilang aku dikibuli oleh Si kakek. Buktinya sudah banyak foto yang kuperlihatkan tidak ada yang bagus dimatanya. Bahkan beberapa foto ada yang sudah pernah memenangkan lomba foto di kotaku. Hari itu aku ingat sekali. Ku bawa beberapa foto untuk  Si kakek. Salah satu foto adalah  “Nenek, Cucu, dan Ternaknya”  Begitu aku memberi judul pada foto itu. Foto itu aku ambil di desa kecil temapat Ayahku dilahirkan. Foto berlatar senja dengan objek nenek tua sedang memandikan sapi peliharaanya. Didalam foto itu juga ada cucu si nenek yang usianya enam tahun. Nenek keriput hanya memakai kamben bermotif  bunga yang warnanya sudah memudar dan penutup kepala warnanya sudah tidak jelas putih atau abu, jangankan memakai baju memakai kutang saja tidak. Cucunya memegang sabit dan hanya memakai celana pendek lusuh. Ini adalah potret riil sebagian masyarakat pedesaan yang kurang beruntung. Foto tersebut pernah meraih The Best Original Photo pada lomba foto yang diadakan oleh harian terkemuka di kotaku.
            Hampir sepuluh menit aku menunggu reaksi Kakek misterius. Dia terus memandangi foto itu. Sepertinya kakek suka. “Horeee aku menang!” Begitu batinku berkata.
            “Dimana kamu ambil foto ini ?”  Setelah 25 menit, akhirnya keluar juga suara dari mulutnya Si kakek.
            “Di kampungku kek, di desa kecil di ujung timur Pulau ini, Kakek senang.” Aku menjawab dengan antusias.
            “Tidak!”  Jawabnya kemudian.
            “Foto ini hanya mengekploitasi kemiskinan, memamerkan kekurangan dan ketidak adilan. Dengan foto ini kamu hanya menyodorkan masalah tanpa solusi. Yang seperti ini sudah banyak,  aku kurang suka.”  Sambil berdiri kakek itu menaruh foto tersebut.
            Kupandangi langkah terseok Si Kakek, keluar pintu berjalan kearah jalan raya menuju sepeda motor tua yang menunggunya.
            Rasa penasaran terus menyelimutiku, aku ingin mengetahui jati diri Si kakek yang menantangku. Kakek itu kadang datang naik sepeda motor butut atau naik mobil produksi tahun 80-an. Apa benar ia kaya? Apa yang menyebabkan dia menantangku ?
            Hari itu kuputuskan untuk mengikuti Si Kakek. Setelah motor tuanya melaju akupun menuju Si Putih, metik kesayanganku yang setia menemaniku kemanapun aku pergi. Beberapa saat kemudian aku sudah melaju menembus ramainya lalu-lintas.  Aku cukup kaget melihat Si kakek cukup gesit melibas keramaian lalu-lintas kota. Kurang lebih 20 menit menyusuri jalan kulihat kakek memacu motornya memasuki sebuah bangunan yang cukup luas.
             “PANTI JOMPO RUJAK”
            Itulah tulisan yang terpatri pada papan nama kecil  yang terpasang didepan gerbang.  Ternyata kakek tinggal di Panti Jompo. Begitulah kesimpulan sementaraku. Yang membuatku cukup penasaran adalah nama  “ Panti Jompo Rujak” Nama yang unik bagiku. Untuk mendapat info tentang kakek aku putuskan berhenti di warung kopi di seberang jalan.
             “Kopinya Mbak “ kataku sambil menghempaskan pantat  di bangku kayu. Sudah jam 4 sore aku merasa penat. Di warung itu hanya ada aku dan seorang pria yang duduk di pojok ruangan.  Lima menit kemudian segelas kopi telah terhidang di depankau. Sambil menyerubut kopi hitam kunyalakan rokok, dan mulailah aku bertanya-tanya pada perempuan separuh baya penjaga warung tersebut. Dari perempuan itu aku mendapat gabaran tentang Panti Jompo tersebut. Panti itu sudah berdiri lebih dari 20 tahun. Pendirinya adalah Nenek Lung. Nenek Lung adalah pengusaha kaya raya keturunan cina. Sayangnya Nenek Lung tidak memiliki suami. Karena itulah dia mendirikan Panti khusus orang yang tua yang tidak atau belum menikah.
            “Mungkin 5 atau 10 tahun lagi saya juga akan kesitu.”  Perempuan itu berkat lirih sambil menatap  Panti Rujak. Aku jadi mengerti rupanya perempuan ini belum berumah tangga sampai seusia ini.
            “Ibu kenal dengan seorang kakek yang tinggal di Panti itu?”  Aku mencoba mengalihkan perasaan perempuan itu yang terlihat gurat kekecewaan dan penyesalan di wajahnya.
            “ Kakek....? Banyak lelaki tua saya lihat keluar masuk kesitu.”
            “ Kakek itu suka memakai topi hitam, jalanya agak pincang, sering naik sepeda motor tua.” Aku coba mendeskripsikan ciri-ciri kakek misterius.
            “ Oh…dia.  Aku tidak kenal, orang itu tidak pernah kesini. Memang sering aku lihat dia keluar masuk  Panti.”
            Tepat jam 5 sore aku meninggalkan warung itu. Sebelum pulang aku sempatkan mengambil gambar Panti dan warung kecil itu, dari berbagai sudut.
***
            Suara ketokan dipintu menyadarkan lamunanku.
            “ Masuk!”
            “Masih memikirkan kakek itu?”  Ananta temaku muncul dari balik pintu ruang kerja.
            “Aku makin penasaran.”  Kataku sambil merapikan foto-foto yang berserakan di meja.
        “ Udah dibawa santai saja, 15 menit lagi kita berangkat ke kampus  Universitas AKAR.” Ananta berkata sambil meninggalkan ruangan tanpa menunggu jawabanku. Hari ini kami kan mendokumentasikan acara berskala internasional yang di adakan kampus tersebut.
            Hari ini adalah Sabtu. Dan sore ini adalah janjiku bertemu Si Kakek Misterius. Sebenarnya aku sudah mulai males bertemu dia tapi aku malu untuk menyerah. Aku siapkan  beberapa lembar foto yang kuambil kemarin.
            Setengah jam sudah aku menunggu, lebih dari 3  batang rokokku sudah habis. Si kakek belum juga muncul. Tidak biasanya dia terlambat begini, paling lambat biasanya 15 menit saja. Kuputuskan untuk pergi. Mungkin Si Kakek memang kakek biasa yang iseng dan memang buka pecinta foto atau bukan orang kaya. Dia memang mengerjai aku, benar kata teman-teman dia hanya kakek stress yang iseng.
            Saat aku melangkah keluar, tiba-tiba seorang laki-laki berbadan kekar masuk. ”Selamat sore. Anda yang bernama Karma?“ Laki-laki berkacamata hitam itu menyapaku.
            “Ia, Anda siapa?”
            “Saya utusan Pak Rahmat, kakek yang menantang anda membuat foto terbaik.”
“ Ohhh…jadi namanya Pak Rahmat?”
            “ Karena sibuk, Pak Rahmat tidak bisa datang, maka  saya di minta mengambil foto yang akan anda berikan hari ini.”
            Aku kemudian menyerahkan amplop berisi foto yang telah kusiapkan. Sebelum pergi lelaki itu berpesan kalau Pak Rahmat senang dengan foto itu maka aku akan dihubungi.
            Aku bertambah penasaran dengan Si Kakek Misterius, yang ternyata bernama Pak Rahmat. Lelaki yang mengambil foto tadi kuperhatikan seperti seorang bodyguard, dengan mengendarai motor gede. Apa mungkin dia kakek biasa kalau orang suruhanya penampilanya seperti itu? Si Kakek memang telah membuatku bekerja keras untuk menciptakan karya terbaik. Aku tidak ingin di cemooh oleh Kakek tua itu. Sampai dirumah aku langsung mandi dan mencoba merebahkan diri di tempat tidur, walau bayang-bayang penasaran masih menyelimutiku.
            Pagi ini seperti biasa, aku bangun terlambat. Sudah setengah delapan aku harus ke kampus. Saat aku bergegas menuju Si Putih metik kesayanganku, tiba-tiba hp berbunyi. Pikiranku mengatakan itu sms Ananta yang mengingatkanku rencana pemotretan besok atau Beni teman kuliahku yang bilang tidak bisak kuliah hari ini.
             Dari : +6281870000889
            Anda di tunggu Pak Rahmat Di Panti Jompo Rujak
            Sekarang juga…
            Langsung saja Si Putih kulaju kearah Panti Rujak.  Perduli amat dengan Prof Yosi dosen pengajarku hari ini. Pikiranku telah terfokus pada Kakek misterius alias Pak Rahmat. Apakah fotoku bagus. Ekspektasiku meninggi.
            Panti Jompo Rujak. Bangunanya bergaya klasik, dengan taman yang tertata rapi membuat suasana cukup asri.
            “Anda sudah ditunggu.” Seorang lelaki mengantarku menuju ke halaman belakang bangunan tersebut.
            “Selamat Pagi Kek.” Aku menyapa ketika kulihat sesosok tubuh yang memegang tongkat sedang memandangi air pancuran di kolam kecil di depanya.
            “Silahkan duduk.” Tanpa menoleh dia menyapaku.
            Akupun duduk perlahan,  suasana yang kaku langsung menyergap perasaanku. Kurasakan jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Sekeliling kulihat hanya beberapa orang sedang membersihkan halaman, dan menyiram kebun bunga.
            “Sempurna…!”
            “Aku suka ini.”  Kakek itu tiba-tiba berbalik dan membanting dua lembar foto. Kakek tertawa, melompat-lompat kegirangan. Tingkahnya seperti seorang anak yang mendapat hadiah istimewa.
            Itu foto karyaku. Foto pertama adalah foto diriku sendiri, iseng ku ambil di ruang kerjaku saat aku suntuk. Didepanku bertebaran foto-foto hasil karyaku yang telah dicetak dan sempat ditolak Si Kakek. Kedua adalah foto Si Kakek sendiri. Ku ambil saat pertemuan kedua di warung. Terlihat dari samping dia sedang memegang gelas kopinya. Kenapa foto ini bisa ada di kakek ?
            Kupandangi cek senilai 500 juta pemberian Kakek Misterius. Ia menepati janjinya. Pak Rahmat begitulah orang-orang di Panti Rujak memanggilnya, ternyata adalah seorang konglomerat. Pak Rahmat tidak memiliki istri karena itu dia tinggal di Panti Jompo Rujak. Ia meninggalkan rumah dan harta benda lainya. Sebagian besar hartanya telah didonasikan untuk membantu pendidikan  dan kesehatan bagi warga miskin di Afrika dan Asia. Dan sisanya dia pakai mengelola Panti jompo Rujak. Mengapa dia memilih Panti Jompo tersebut? Ternyata saat muda Pak Rahmat memiliki love Story dengan Nenek Lung pendiri Panti.
            “Foto ini menunjukan rasa percaya dirimu, percaya diri adalah modal untuk menjalani hidup.” Begitu alasan sederhana yang diungkapkan Pak  Rahmat.
            Foto kedua, foto dirinya sedang minum kopi. “Ini aku suka.” katanya.
            Entah kenapa ia suka foto dirinya sedang minum kopi? 
            Kenapa ia berani mengeluarakan 500 juta untuk foto itu?
***


Ditengah  gemulainya tarian debu:
Karangasem-Bali, 27 Agustus 2012






Kamis, 08 Agustus 2013

Bukit Gelombang


Sebuah bukit bernama Bukit Gelombang adalah tempatku dilahirkan. Kenapa namanya Bukit Gelombang, saat aku tanya pada orangtuaku mereka tak pernah memberi jawaban yang memuaskan. Bukit Gelombang terletak di Desa atau di Bali disebut Banjar, yaitu Banjar Bangle. Nah, kalau Bangle itu bahasa Bali yang artinya adalah nama sejenis tumbuhan yang katanya menyerupai kunyit/kunir. Aku juga tak pernah melihat bagaimana bentuknya tanaman tersebut. Di Bukit Gelombang itulah orangtuaku tinggal dalam dua buah gubuk bambu beratap ilalang. Bangunan satu berfungsi sebagai dapur dan yang satunya lagi sebagai kamar tidur. Bangunan itu sengaja dibangun berhadap-hadapan. Di  selatan rumah ada sebuah kolam ikan. Sementara di utara ada kandang sapi. Kandang itu dihuni dua ekor sapi betina beserta seekor anaknya yang baru dua bulan. Rumah atau tepatnya gubuk kami terletak di tengah ladang.  Barisan pohon jambu yang berbuah lebat memagari gubuk kami.
 
Menurut cerita yang kudengar dari ayahku, aku dengarnya ga sengaja saat itu ayah ngobrol dengan temanya. Aku lahir ditolong oleh dukun. Dukun beranak, yang menolong ibu-ibu yang melahirkan, bukan dukun santet ya. Kalau mencari bidan jauh banget di kota kecamata yang letaknya puluhan kilometer. Saat itu malam berpayung sinar redup purnama yang tertutup awan berarak. Dibalai bambu dapur kami, ibu mempertaruhkan segalanya untuk mendapat tiket sorga yaitu dengan melahirkan anak yaitu aku. Tangisan pertamaku menggema memenuhi lembah di Bukit Gelombang. Saat mendengar tangisanku sapi mengibas-ibaskan ekornya tanda gembira.  Ayam-ayam peliharaan ayah juga berteriak sahut-menyahut. Si Burik, ayam jago kebanggaan ayah berkokok dengan lantangnya.  Lain lagi tingkah anjing penjaga gubuk kami. Anjing berwarna putih itu berlari kearah gubuk sambil menyalak . Ia mendekati ayah, mungkin ingin mengucapkan selamat atas kelahiranku.

Kakek Tun adalah ayah dari ibu, beliaulah yang menyambutku pertama kali. Tangan keriput beliau mengusap kulitku. Bibir keringnya berucap,“Cucuku pertamaku laki-laki.” 
Berikutnya, tangan terampil Nenek Cung ( bukan nama korea atau cina ya, asli orang Bali ) membersihkan tubuh mungilku. Nenek Cung adalah istri tertua Kakek Tun, ia ibu kandung dari Ibu. Kemana kakek dan nenekku dari ayah? Mereka ga ada yang datang. Katanya sih, waktu itu ayah lagi marahan sama mereka, ga tau apa penyebabnya.

Di halaman rumah, tepatnya dua meter dari teras dapur ayah terlihat sibuk mengayun cangkul. Keringat sedikit menitik dipelipis, dinginya angin malam menuju pagi tak ia rasakan.  Ia ayah sedang membuat lubang tempat menanam ari-ari. Setelah lubang cukup dalam, ayah mengambil buah kelapa tua. “Plaaak!” Kelapa itu dibelah jadi dua bagian. Ari-ari/pasenta, darah, air ketuban yang membalut tubuhku saat aku dilahirkan dimasukan kebuah kelapa tersebut. Itu sebagai ungkapan terima kasih karena mereka ( ari-ari, dll )  telah menjaga si bayi saat dalam kandungan. Mereka juga diyakini sebagai saudara yang akan menjaga si bayi sampai umur tertentu.
 
“Kamu sudah menyiapkan nama untuk anakmu?” Suara Kakek Tun memecah kesunyian.
“Sementara namanya Wayan  saja.” Ayah menjawab sambil berjongkok didepan lubang untuk memasukan kelapa yang sudah berisi ari-ari. Ya, Wayan adalah nama untuk anak tertua bagi orang Bali.  Saat kelapa dimasukan kelobang, katanya harus menyebutkan nama si bayi. 
“Sapinya sudah dikasi makan?” Kakek Tun kembali bersuara.
“Belum?” Ayah menjawab sambil memasukan kelapa kedalam lobang. Kemudian ayah berdoa, mungkin doanya tentang harapannya agar aku saat dewasa nanti bisa jadi Gubernur, atau setidaknya Bupati. 
Tentu pembaca bertanya-tanya, saat hikmad seperti itu Kakek Tun nanya tentang sapi. Pertanyaanya ga berbobot gitu. Sekarang aku juga baru tau jawabanya. Katanya, saat menanam ari-ari Si Penanam yang umumnya ayah si bayi harus bersuara agar anaknya tumbuh jadi anak yang pintar ngomong alias tidak gagu. Makanya ada orang yang mengajak berbicara dengan mengeluarkan suatu pertanyaan.

Malam makin menyusut, pagi makin mendekat. Ki Dukun pamit pulang. Sebelum meninggalkan gerbang gubuk kami yang terbuat dari bilahan bambu kuning Ki Dukun membisikan sesuatu pada ayah. Ayah hanya mengangguk sambil berucap terima kasih. Setelah obor penerangan jalan yang dibawa Ki Dukun lenyap diantara pepohonan ayah bergegas kembali dalam rumah.  
Limabelas menit kemudian, api telah mengepul di halaman rumah. Api itu berasal dari perapian kecil yang dibuat ayah. Suara ledakan kecil, disusul jilatan api yang agak tinggi terdengar saat ayah melemparkan sesuatu kedalam api. Entah apa.
**

Rabu, 07 Agustus 2013

IINDONESIAKU

Indonesia …
Tanah Airku
Zamrud khatulistiwa
Tempat mekarnya  kedamaian
Dalam belantara perbedaan

Indonesiaku…
Negeri  beribu pulau
Negeri berjuta harapan
Dilaut birumu
  aku menabur mimpi
Ditanahmu yang subur
    ku tebar cita-cita               

Merah putih
    tetaplah berkibar
Meski badai menerjang
Tak ku biarkan warnamu memudar
    dilindas peradaban
Garudaku terbanglah tinggi
Biar dunia melihat kepak sayapmu yang perkasa
Indonesia
Tumpah darahku


                                                                     : Juli 2012

Jumat, 26 Juli 2013

CHAIRIL ANWAR

hari ini  91 tahun lalu : 26 juli 1922
langit meringkus kepahitanya
bumi menggigil menyambut suara tangismu
angin berlariian mengabarkan keberadaanmu

chairil anwar...

biarkan aku mengunyah matamu
biarkan aku  menguliti badanmu
biarkan aku mencukur rambutmu

Hai binatang jalang !
akan aku cincang diksi keramatmu
akan aku santap bait-baitmu

 karena aku ingin sel di tubuh ini mengalir keliaranmu

 karena aku mau membisikan semangatmu pada telinga penguasa

Chairil Anwar
kau memang akan hidup seribu tahun lagi








Selasa, 21 Mei 2013

BUKIT ANGIN


          Bukit mungil itu berdiri di pinggir Desa Sunyi. Di punggungnya ilalang tumbuh dengan subur. Pohon besar yang tumbuh disana tak sampai 20 batang. Belasan pohon jambu mente tersebar mengelilinggi bukit. Sisanya adalah sepasang nangka dan 3 batang pohon pinang yang tumbuh tepat di puncak bukit. Karena itulah Masyarakat Desa Sunyi menyebut bukit itu dengan nama Bukit Ilalang.
            Bukit ini masih tetap sama seperti tahun-tahun lalu, saat terakhir Aku kesini. Hanya sepasang pohon nangka itu kini sudah tambah besar, ranting-rantingnya melebar menutupi  sebagian permukaan bukit. Tiga batang pohon pinang masih berdiri kokoh dan bertambah tinggi. Yang jauh berbeda adalah pemandangan Desa Sunyi yang mengecil di bawah sana. Dulu, sawah hijau membentang terlihat seperti permadani yang dibentangkan menutupi desa. Saat sore kita dapat melihat barisan petani yang pulang dari sawah berbaur dengan suara ternak yang digiring bocah gembala pulang kekandangnya. Kini sawah-sawah itu telah berganti jadi bangunan. Hanya tersisa beberapa petak yang tersebar disana-sini.
            Panas mentari yang menyengat siang ini terasa memijat kulitku saat angin bergerak pelan, derunya sungguh merdu. Diatas batu besar itu Aku kembali melihat mu, rambut hitam, tangan-tangan mungilmu, dan suara :
             “Kiuuuuuk...kiuuuuuuk,kiuuuuk.....!” Itulah mantra memanggil angin yang sering kita teriakan. Biasanya setelah kita meneriakan itu maka perlahan angin akan datang menyambar baling-baling kayu ditangan kita. Kita melompat, tertawa, dan menikmati nyayian merdu yang tercipta dari baling-baling yang di cium angin. Bukit Angin, itu nama yang kita berikan pada Bukit Ilalang.
            Di bawah pohon nangka ini, kita berteduh sambil memperbaiki baling-baling. Merautnya dengan pisau agar suara yang dihasilkan lebih merdu. Di dahan pohon ini kita biasanya menaruh botol minum. Kamu sering marah kalau minumanmu aku habiskan, sebagai permintaan maaf akan ku petik beberapa bunga ilalang dan ku hadiahkan untukmu. Dan senyum manismu akan mengembang, lalu kamu akan berlari menuruni bukit. Tentu saja Aku akan mengejarmu.
            Kita jatuh bersama...
            Disaat lain kita duduk diatas batu babi, batu yang bentuknya menyerupai kepala babi. Memandang bentangan sawah menghijau di bawah sana, sambil bercerita tentang mimpi masa depan.
            Bukit Angin adalah saksi suka-duka masa kecil kita. Pernah suatu ketika kamu dimarah oleh orang tuamu karena kamu memecahkan pot kesayangan Ayahmu. Ku lihat kamu berlari keluar rumah, ku yakin tujuanmu adalah Bukit Angin. Benar saja, kudapati kamu sedang duduk di batu babi.
            “Ayah lebih sayang pot bunganya dari pada aku.” Katamu kemudian.
            Air mata di pipimu menguap berganti dengan senyum merona saat nada Maskumambang coba aku lantunkan lewat ruas seruling bambuku. Seruling itu adalah hadiahmu saat setahun sebelumnya engkau dan keluarga pulang ke kampung halamanmu.
            Kamu tentu masih ingat, saat kita naik ke kelas empat. Saat itu kamu jadi juara kelas. Besoknya kita berpesta di Bukit Angin. Kita mengajak teman-teman, mereka adalah Alun, Agung, Siti, dan Bento. Membuat api unggun, lalu membakar beberapa buah singkong yang ku ambil di kebun Ayah. Setelah makan singkong bakar itu kita bernyanyi dan tertawa bersama. Tepuk tanggan kita menggema di lereng bukit mengiringi bait puisi yang kau baca.
            Gadis manisku. Ketahuilah, tiap 15 Maret aku selalu datang menunggumu di bukit ini. Aku ingin memenuhi janji yang pernah kita ucapkan.
            Ketika itu adalah ulang tahunmu yang ke-12. Sore itu aku menemukan sederet beban di senyumu.
            “Besok aku akan pergi, Ayahku di pindah tugaskan ke daerah lain“ Itulah kata yang terlahir dari bibirmu saat itu.
            Di bawah pohon nangka ini kita berpegangan tangan. Kukalungkan rangkaian kalung berbahan butiran biji lantoro, itu adalah hadiah untukmu, yang telah seminggu aku persiapkan. Kuhapus butir air yang meleleh di pipimu. Kita berdiri, tanganmu ku genggam erat.
            “Kiuuuuukkkk...kiuuuuuk...kiuuuuk...!“ Kita berteriak memanggil angin.
            Dalam baluran angin sepoi itu kau berjanji, “Saat ulang tahunku nanti aku akan datang kesini. Kita akan memanggil angin lagi“
            “Ya, aku akan menunggu disini “
            Saat itu senja datang membawa aura yang tak bisa kita ungkap dengan kata-kata. Hanya lewat nada dari serulingku ku saampaikan harapan. Dan saat pelan senja menutup layarnya kitapun menuruni bukit. Di kaki bukit, kita bersama menatap puncak Bukit Angin. Engkau berteriak, “Selamat tinggal Bukit Angin, aku pasti akan datang kembali!”
            Esoknya, ku antar langkah kakimu dengan lambaian tangan. Saat gerobak yang ditarik seekor sapi berwarna hitam itu bergerak pelan menyusuri jalanan desa. Wajahmu semakin lama semakin mengecil dan lenyap bersama debu jalanan yang membumbung.
            Janji itu sudah lama kita ucapkan, 15 Maret telah datang dan pergi berkali-kali. Namun sampai hari ini kamu tidak pernah muncul. Aku hanya bertemu dengan gema suara kecilmu, yang berlari bersama angin yang menyisir ilalang di punggung bukit.
***
            Perlahan Aku rebahkan badanku diatas batu babi. Kutatap  langit yang maha luas. Saat Aku buka mata terasa ada yang berbeda pada diriku. Kudapati rambutku memutih dan kulit ditangan ini keriput.
            “Kakek, pulanglah ada yang menunggu di rumah!” Sesosok anak  kecil berdiri didepanku.
            “Siapa?”
            “Aku tak tahu, pulang saja.” Bocah itu telah berlari menuruni Bukit Angin.
            Sampai di rumah ku lihat sosok pria tegap dengan kulit legam, dan rambut memutih. Itu adalah sosok yang sangat aku kenal.
            “Alun, kenapa mencariku?” Alun hanya tertawa kecil sambil menggangkat botol digenggamanya.
            Malam itu aku dan Alun larut dalam canda dan tawa. Bersama buih dan aroma tuak kami mengupas masa lalu, menyusuri kembali jalan-jalan setapak, ruang-ruang berdebu di kelas, pematang sawah, dan semua hal yang tumbuh dalam dunia masa kecil kami.
            “Lintang, apakah kamu ingat Laras teman kita?” Kata-kata Alun langsung mengunciku. Aku hanya menggangguk.
            “Minggu lalu aku bertemu dengan Siti di Kota Kabupaten, Aku sempat tanyakan tentang Laras.”
            “Terus, bagaimana?” Aku jadi penasaran dengan keterangan Alun.
            “Siti pernah bertemu Laras saat mereka kelas 1 SMA.”
            Kelas satu SMA, itu sudah lama. Pelan ku angkat lagi gelas tuak didepanku. Satu teguk saja gelas tersebut telah kosong.
             “Kakek, sudah cukup minumnya.” Sebuah suara mengejutkan kami. Hasan, cucu Alun berdiri didepan kami.
           “Kamu ini mengganggu kakek saja. Dari mana kamu ?” Alun menatap cucunya.
            Hasan duduk disebelah Alun. “Saya dari rumah Kepala Desa.”
            “Ada masalah apa malam-malam begini?” Aku jadi merasa penasaran.
            “Begini kek, tadi pertemuan di rumah Pak Kepala Desa membicarakan mengenai rencana penjualan Bukit Ilalang”
            “Apa? Bukit Ilalang akan dijual? Aku terkejut mendengar kata-kata Hasan. Ku lihat muka Alun juga menunjukan ekspresi keterkejutan yang sama dengan yang aku rasakan.
              “Anak muda, apa yang kalian pikirkan? Aku tidak terima kalau bukit itu akan dijual!” Aku marah, benci, tidak terima dengan pemikiran mereka. Alasan apa yang menyebabkan bukit itu mesti dijual? Kalau dijual, uangnya untuk apa?
            “Tenang dulu kek, memang ada investor yang mau menawar Bukit Ilalang tetapi itu belum menjadi keputusan warga desa. Besok sore hal itu akan dibahas saat musyawarah desa, tadi itu rapat kecil yang dihadiri  beberapa tokoh masyarakat.”
            “Bukit Ilalang mau dibuat apa oleh orang-orang itu?” Alun kebali bertanya pada cucunya.
            “Katanya mereka mau membangun rumah peristirahatan.”
            Pokoknya Aku tidak terima kalau Bukit Ilalang dijual. Aku tak ingin Bukit Angin menjadi milik orang asing.
            “Mau keman kamu Lintang?” Alun berteriak memanggilku.
            Aku berjalan, ku ikuti langkah sosok gadis kecil yang berlalu kian menjauh. Dia berlari, berlari kearah Bukit Angin.
***
            Saat ku buka mata, ada warna putih yang membayang. Ternyata aku berada di sebuah kamar yang asing, ini bukan kamar di gubukku.
            “Selamat Pagi Kek!” Gadis manis berpakaian putih berdiri di depanku.
            “Sekarang kakek sarapan ya.” Gadis itu duduk lalu menyuapi mulutku. Makanan itu coba aku kunyah.
            “Dimana ini?”
            “Ini rumah sakit kek.”            
            Saat Aku sedang menginggat kenapa Aku bisa berada di tempat ini, Mata ini tertuju pada televisi yang sedang menyiarkan berita.
            “Dapat kami kabarkan, tadi pagi pukul 05.00 terjadi kecelakaan pesawat helikopter. Pesawat naas itu jatuh pada sebuah bukit di desa kecil yang bernama Desa Sunyi. Belum diketahui penyebab pasti jatuhnya pesawat tersebut, namun dugaan sementara pesawat jatuh karena cuaca buruk berupa angin kencang yang menerpa  badan pesawat.”
            “Tim SAR telah menemukan dua orang korban yaitu pilot pesawat dan seorang perempuan usia sekitar 50  tahun.”
***
            Setelah seminggu istirahat di rumah sakit akhirnya Aku dapat kembali pulang ke desa. menemui kembali ranjang bambuku yang empuk. Kasur di rumah sakit sungguh menyiksaku.
            Alun datang ke gubuk setelah Aku tiga hari keluar dari rumah sakit. “Kamu sudah sehat?”
            “Lihat saja sendiri, Aku bahkan merasa lebih sehat dari sebelum Aku ke rumah sakit”
            “Kalau begitu ayo kita ke bukit.”
            Aku merasa heran dengan Alun. Tidak biasanya dia mengajak Aku ke Bukit Angin. Biasanya Aku diajak mencari tuak untuk kita minum atau melihat ayam jago yang baru dibelinya.
            “Ada yang ingin bertemu denganmu.” Begitulah kata-kata Alun meyakinkanku.
            Bersama rasa penasaran yang mengelayuti pikiran Aku ikuti langkah Alun menapaki jalan berdebu menuju Bukit Angin. Setengah jam mendaki kami tiba di puncak Bukit Angin. Alun langsung mengajaku ke pohon nangka.
LARAS SAVITRI
Lahir  : 15 Maret 1960
Wafat : 15 Maret 2012
            Aku tertegun menatap nisan didepanku. Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat. Tak terasa air mata menetes membasahi gundukan itu.
            “Saat kamu di rumah sakit, warga desa sepakat menjual Bukit Angin pada investor yang mau membeli. Warga setuju karena dia hanya membeli seluas 5x5 meter persegi dengan harga yang tinggi. Rencananya uang hasil penjualan itu akan digunakan membangun Balai Serbaguna. Tanggal 15 Maret investor itu akan datang ke bukit. Lalu terjadilah kecelakaan itu.” Alun menepuk pundaku saat mengakhiri ceritanya.
            Kini Aku paham, investor yang ingin membeli Bukit Angin adalah dirimu. Dan tempat istirahat yang dimaksud adalah kuburan sederhana ini. Tempatmu beristirahat untuk selamanya. Rupanya kamu ingin menepati janji untuk datang ke Bukit Angin saat hari ulang tahunmu.
“Kiuuuuuk...kiuuuuuuk...kiuuuukk!” Sayup telingaku menangkap suara itu, suara yang amat ku kenal.
***

Denpasar, 9 September 2012